Sepakbola Tak Lebih Penting dari Sekolah dan Rumah Sakit

Di kota Sao Paulo, protes itu terbagi jadi dua. Di satu sisi area, sekelompok orang melakukan aksi kekerasaan saat mereka coba mendobrak kantor walikota. Batu dan serbuk merica bertebaran dan jadi alat saling menyerang antara polisi dengan demonstran. Satu mobil media dibakar dan beberapa toko dijarah massa.

Tapi di beberapa blok dari aksi ini, di main avenue, atau tempat terbesar di Sao Paulo untuk berkumpulnya massa, puluhan ribu demonstran menjalankan protes dengan cara yang berbeda. Dengan bendera dan nyanyian, serta saling berpegangan di bahu dan melompat, mereka menyatakan sikap. Tak ada polisi atau demonstran yang terluka, dan tak ada batu yang terlempar.


Jika suporter Brasil di stadion terkenal dengan aksi karnavalnya dengan menyanyi dan menari, maka tak heran ribuan demonstran yang turun ke jalan pun setia dengan kebiasaan ini. Sikap menolak ditunjukkan dengan cara yang meriah, sebagaimana meriahnya festival yang kerap digelar di jalanan Sao Paulo.
Namun, satu hal menarik dari aksi kali ini adalah sikap mereka terhadap sepakbola. Ribuan anak muda, yang setiap minggunya berpesta di dalam stadion, kini malah menunjukkan keengganannya saat harus menjamu puluhan ribu pecinta sepakbola dari berbagai belahan dunia lainnya.

“Memangnya apa yang kami dapatkan dari Piala Dunia ini?” tanya seorang yang terlibat aksi.
“Jika kami harus menunggu 2 bulan untuk mendapatkan layanan kesehatan, mengapa harus mengeluarkan ratusan juta dolar untuk membangun stadion?” tanya demonstran lainnya.

Monumen Untuk Siapa?
Berbeda dengan stadion Arena de Sao Paulo, yang gerbang depannya sering dijadikan tempat berkumpul demonstran, Estadio Nacional Mane Garrincha yang terletak di ibukota Brasilia relatif aman dari aksi protes. Dari antara 280 tiang raksasa penyangga stadion, angin berhembus pelan, membuat udara dalam stadion tetap dingin dan nyaman meski tanpa menggunakan air conditioner. 

Desain stadion ramah lingkungan ini tak serta-merta ada dari semula. Demi kepentingan Piala Dunia, stadion yang awalnya didirikan pada 1974 ini dirubuhkan pada 2010 untuk dibangun kembali. Selain 280 tiang dan 71 ribu kursi untuk fans, Estadio Nacional Mane Garrincha juga dilengkapi oleh 2.000 panel surya yang bisa digunakan untuk mengaliri listrik ke 2000 rumah penduduk sekitar.

Namun, di balik kehebatan eco-friendly stadium-nya tersimpan berbagai pertanyaan. Dibangun dengan dana publik hampir sebesar 750 juta dolar, lebih 80% dari anggaran awal, dan jadi stadion termahal di Brasil, sulit untuk tidak membayangkan bahwa dana ini akan terbuang sia-sia setelah Piala Dunia. Sebabnya, dua klub lokal yang berlokasi di kota ini hanyalah klub minor. Dalam setiap pertandingannya, rata-rata hanya ada 1.000 suporter yang datang ke stadion itu.

Dalam wawancara dengan Al-Jazeera, senator dari kota ini pun tak luput mempertanyakan kegunaan Estadio Nacional Mane Garrincha. “Jika kita menginginkan monumen untuk kota ini, maka kita bisa membangun 10 sekolah tehnik terbaik di Brasil. Dan itu hanya akan menghabiskan 20% dari dana untuk membangun stadion Mane Garrincha,” ujar Cristovam Buarque.
Tapi jawaban berbeda diberikan oleh sekertaris panitia Piala Dunia Brasil, Claudio Monteiro. Menurutnya, untuk ibukota negara yang ekonominya keenam terbesar di dunia, Brasilia kekurangan stadion sekelas Estadio Nacional Mane Garrincha. “Kebutuhan kami adalah menempatkan Brasil pada level yang berbeda,” ucap Monteiro.

Gajah-Gajah Putih yang Tak Bisa Disingkirkan
Ucapan Monteiro ini sebenarnya tak asing lagi. Hampir empat tahun lalu, saat Afrika Selatan sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan perhelatan terbesar dunia sepakbola, berbagai pembenaran atas tingginya biaya penyelenggaraan juga disampaikan oleh panitia.
Jika Brasil ingin menunjukkan otot-ototnya sebagai negara kaya yang sedang bangkit, maka kala itu Afrika Selatan memiliki kepentingan berbeda.

Waktu itu mereka butuh menampilkan pada dunia bahwa benua Afrika sudah setara dengan negara modern lainnya. Bahwa masalah segregasi dan bentrok antarkulit putih dan kulit hitam sudah tak ada, dan keduanya bisa bersatu di stadion. Bahwa benua yang selama ratusan tahun diperbudak sudah mampu menghasilkan insinyur dan arsitek pintar. Insinyur pintar yang, ironisnya, bisa merancang stadion dengan standar yang ditetapkan negara-negara yang dulu memperbudaknya.

Namun, terjawabnya kebutuhan-kebutuhan politis Afrika Selatan itu pun pada akhirnya tak bisa lepas dari permasalahan pasca Piala Dunia yang nantinya harus dihadapi Brasil. Stadion-stadion megah sekarang bak hanya dihuni oleh hantu. Salah satu penyebabnya adalah karena tingginya biaya pemeliharaan dan minimnya pertandingan dengan jumlah suporter banyak.

Misalnya saja Stadion Peter Mokaba di kota Polokwane. Dibangun dengan dana 150 juta dolar, stadion ini hanya jadi tempat untuk empat pertandingan di Piala Dunia 2010. Semuanya pun hanya di babak pertama. Polokwane juga tak memiliki sama sekali tim sepakbola lokal yang bisa mengisi stadion setiap minggunya.
Kini, dengan biaya pemeliharaan senilai 2 juta dolar setiap tahun, dan belum balik modalnya biaya pembangunan, stadion Mokaba tak terurus lagi. Bagi penduduk lokal, keberadaannya seakan jadi gajah putih di ruangan yang tak bisa disingkirkan (catatan: the elephant in the room merujuk pada peribahasa yang berarti permasalahan yang dengan sengaja dihindari).

Beton dan Besi APBD
Mendengar tentang gajah-gajah putih yang tak bisa disingkirkan ini, tak sulit untuk melayangkan pikiran pada Stadion Palaran di Kalimantan Timur. Sebagaimana Peter Mokaba yang dibangun untuk kepentingan Piala Dunia, Palaran pun didirikan demi menyambut Pekan Olah Raga Nasional 2008. Bisa menampung kurang lebih 50 ribu fans, stadion ini jadi stadion terbesar kedua di Indonesia yang kemegahannya tak kalah dengan GBK.
Namun, jika GBK hingga saat ini masih sering mengasuh berbagai event dan pertandingan tingkat internasional, satu-satunya kegiatan berskala besar yang diselenggarakan di Palaran hanyalah pembukaan PON. Itu pun hampir 5 tahun silam.

Biaya sewa yang tinggi dan lokasinya yang berada di pinggiran kota, serta jauh dari bandara, membuat Palaran tak menarik untuk dilirik para penyelenggara event. Persisam Samarinda juga pada akhirnya lebih memilih Stadion Segiri sebagai kandang. Selain karena lokasi, rumput Palaran juga kalah bagus dari rumput Segiri yang selalu dirawat.

Maka tak heran jika pada awal Juni 2013 ini muncul kabar bahwa pintu gerbang dikhawatirkan roboh. Tanpa perawatan, konstruksi gerbang yang terbuat dari besi itu berkarat dan rentan ambruk jika ada angin kencang yang bertiup. Pada akhirnya, dana APBD Provinsi Kalimantan Timur senilai 800 miliar rupiah itu hanya mengendap dalam bentuk beton dan besi yang semakin rapuh dan tak terawat.

Ilusi Economic Bonanza
Kisah-kisah bagaimana penyelenggaraan festival ola raga berskala besar tidak menguntungkan secara finansial, dan menyisakan pekerjaan rumah yang banyak, sesungguhnya sudah acap kali dibahas. Pada 2008, John Haberman menulis bagaimana Olimpiade 1976 Montreal menyisakan utang yang baru lunas terbayar 30 tahun kemudian.

Demikian pula dengan Robert Baade dan Victor Matheson yang pernah membuat geger dunia sepakbola di tahun 1994. Dengan studinya terhadap Piala Dunia di Amerika Serikat, keduanya mengungkapkan bahwa tidak ada keuntungan ekonomi secara substansial bagi negara penyelenggara event tersebut.
Padahal, sebelumnya hampir semua pihak menganggukkan kepala atas pernyataan bahwa dengan membangun stadion, memperbaiki infrastruktur, dan dengan promosi pariwisata yang secara tidak langsung dilakukan saat piala dunia, maka negara penyelenggara pasti mendapatkan keuntungan berlipat. Mendapatkan sebuah economic bonanza.

Dalam buku Soccernomics, Simon Kuper dan Stefan Szymanski juga sempat mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, baik Jepang dan Korsel, atau Jerman, memang mendapatkan keuntungan, namun tidak signifikan. Jika demikian, sesungguhnya argumen bahwa menjadi tuan rumah Piala Dunia bisa mendapatkan keuntungan finansial tidak dibangun dalam dasar yang kokoh. Dan, pada kenyataannya, negara-negara yang memutuskan diri untuk jadi host pun tak pernah lepas dari alasan politis.
Brasil ingin menunjukkan kekuatan ekonominya, Afsel dengan politik mercusuar-nya, sementara Rusia dan Qatar juga tak lepas dari keinginan untuk meletakkan negaranya dalam peta kekuatan dunia. Bukankah Kalimantan Timur yang juga kaya dengan hasil tambangnya demikian?

Sepakbola atau Hidup?
Mengamati eskalasi gerakan di Brasil, terlihat bahwa sebenarnya protes yang dilangsungkan bukan hanya terkait Piala Dunia saja. Berawal dari kenaikan tiket bus, tuntutan kini meluas pada isu korupsi, penyelenggaraan pemerintahan, dan penanganan kemiskinan. Meski jadi negara dengan ekonomi keenam terbesar, 40 juta dari 197 juta penduduk Brasil memang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Tak aneh jika kemudian penyelenggaraan Piala Dunia jadi sasaran protes para demonstran. Buat apa mengeluarkan dana publik sedemikian banyak hanya untuk memenuhi beragam standar pendirian stadion dari FIFA? Padahal, harga tiket-tiket untuk menyaksikan satu pertandingan Piala Dunia saja akan melebihi gaji sebulan rata-rata masyarakat Brasil.

Meski Brasil dikenal sebagai negara yang gila sepakbola, untuk urusan memilih antara sepakbola atau hidup yang layak nampaknya mereka lebih rasional. Mendukung aksi Neymar dkk. dalam merebut trofi tak lebih penting dari hak mendapatkan akses transportasi publik yang murah.
Karena itu, meski FIFA mengancam akan menuntut jika Piala Konfederasi tertunda karena aksi ini, mereka tak peduli. Malam tadi ratusan ribu orang tetap membuat hidup jalanan Brasilia, Rio De Jenairo, Porto Alegre , Natal, Preto, Sau Paulo dan kota-kota lainnya. Di antara ratusan ribu demonstran tersebut, dalam satu kertas karton yang ditulis tangan dengan menggunakan spidol, tertera: “Go home FIFA, we’re kind of in the middle of something here”.

Ditulis oleh Vetricia Wizach dan telah dipublikasikan sebelumnya di Detik Sport. Penulis dapat ditemui melalui akun twitter @vetriciawizach dari @panditfootbal.

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment

0 komentar: