Harian Rakyat edisi 4 Maret 1964 memuat ultimatum Njoto, ”Barang
siapa masih berkata djuga bahwa seni itu ‘non-politik’, sesungguhnja dia
itu reaksioner.” Bukan saja jurnalistik, lanjut Njoto, tetapi sport
(olahraga) pun tidak bisa disangkal lagi bertautan erat sekali dengan
politik. “Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni!” seru
Pemimpin Redaksi Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia (PKI) itu
berapi-api.
Njoto juga berujar, kalau sekiranya bukan karena politik maka lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman tidak akan pernah lahir. Selama kapitalisme di Indonesia belum mengalami perkembangan yang jauh, tambah Njoto, tidak akan ada jurang pemisah antara sastra dan seni di satu pihak serta massa rakyat di pihak lain.
Situasi yang terbangun ini
menguntungkan bagi usaha memadukan kebudayaan dengan rakyat demi
mengembangkan kebudayaan rakyat. Njoto bertekad, “Sesudah belasan tahun
berdjuang setjara sedar dibidang kebudajaan, maka kini sudah waktunja
untuk meningkatkan perdjuangan itu dan mendjadikan gerakan kebudajaan
Rakjat jang revolusioner menjadi satu gerakan jang besar dan megah,
perkasa dan kuasa!”Njoto juga berujar, kalau sekiranya bukan karena politik maka lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman tidak akan pernah lahir. Selama kapitalisme di Indonesia belum mengalami perkembangan yang jauh, tambah Njoto, tidak akan ada jurang pemisah antara sastra dan seni di satu pihak serta massa rakyat di pihak lain.
Intinya, peran politik di dalam segenap sendi-sendi kehidupan
manusia, termasuk dalam ranah sastra, seni, dan budaya, adalah sangat
vital. Njoto menganjurkan agar para pekerja seni, budaya, ilmuwan, juga
intelektual pada umumnya tidak boleh melupakan kesadaran berpolitik.
“Politik itu penting sekali. Djika kita menghindarinja, kita akan
digilas mati olehnja. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan sadja
pun politik harus menuntun segala kegiatan kita,” pesan Njoto.
Njoto yang dilahirkan pada 17 Januari 1927 di Bondowoso Jawa Timur
adalah anak sulung dari tiga bersaudara dengan dua adik perempuan.
Sebelum lebih dikenal sebagai seorang politikus, Njoto adalah seorang
seniman. Ia pandai mencipta karya sastra, esai, puisi, artikel budaya,
juga karya musik. Bersama musisi Adikarso dan Bing Slamet, tak jarang
Njoto ikut mengisi acara musik lepas senja di studio RRI. Ia pun kerap
bergaul dan bermain lagu dengan para musisi Indonesia lainnya, satu nama
yang cukup dikenal adalah Jack Lesmana, ayah dari keyboardis Indra
Lesmana.
Njoto juga ikut terlibat dalam pembicaraan tentang lagu
Gendjer-Gendjer. “Lagu ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu
nasional,” ramal Njoto. Prediksi ini terbukti benar karena tak lama
kemudian Gendjer-Gendjer menjadi cukup terkenal lewat siaran RRI. Bing
Slamet pun ikut mempopulerkan lagu yang kemudian divonis sebagai lagu
terlarang oleh rezim Soeharto itu.
Kesukaan Njoto akan musik tak bisa dibendung. Sering ketika di Istana
Negara sedang berlangsung acara resepsi, Njoto dengan diam-diam
meninggalkan para menteri yang duduk di sebelahnya, dan kemudian
menelusup di antara para artis yang menghibur acara. Tak dinyana, Njoto
sekonyong-konyong muncul di antara para pemain musik dan memainkan
keyboard dengan sangat mahirnya. Irama lagunya yang memikat mengiringi
lantun suara merdu biduan-biduan kondang kala itu, semisal Titiek Puspa
dan Fetti Fatimah. Njoto juga dikenal sebagai penyusun naskah pidato
Presiden Soekarno. Salahsatu kehebatan Njoto adalah dalam mengemas gaya
bahasa Bung Karno, bahkan mampu menempatkan diri ke dalam pikiran
politik Bung Karno. Bahkan, oleh Presiden Soekarno, pada 27 Agustus
1964, Njoto diangkat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Dwikora I.
Sebelumnya, sekisaran tahun 1950, Njoto bertemu dengan para pelukis
dan penulis yang beraliran kiri. Mereka mendiskusikan tentang peranan
seni dalam perjuangan kelas. Njoto menganjurkan perpaduan antara tradisi
besar realisme kritis dan romantisme untuk membuat kesenian yang
menampilkan kenyataan sosial menuju proses perubahan revolusioner. Njoto
memang memunyai daya tarik tersendiri bagi kalangan intelektual dan
seniman. Affandi, Soedjojono, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, adalah
beberapa dari mereka yang mengagumi Njoto.
Pada 17 Agustus 1950, beberapa sastrawan dan seniman berkumpul untuk
membahas pendirian Lembaga Kebudajaan Rakjat alias Lekra. Termasuk
Njoto, para penggagas awal yang ikut terlibat antara lain: AS Dharta, MS
Ashar, dan DN Aidit, ditambah beberapa nama yang muncul belakangan
seperti Herman Arjuno, Henk Ngantung, serta Joebar Ajoeb. Dalam piagam
Lekra, di mana Njoto tercatat sebagai salahseorang pencetusnya,
tertulis: ”Lekra bekerdja khusus di lapangan kebudajaan, terutama di
lapangan kesenian dan ilmu. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan
ilmu bisa terlepas dari masyarakat.”
Mulanya, di setiap pekan Lekra menerbitkan lembaran kebudayaan lewat
majalah Zaman Baru yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh
Njoto dengan nama pena Iramani, AS Dharta alias Klara Akustia, dan MS
Ashar. Berkat lembaran kebudayaan itu, populeritas Lekra menanjak dengan
cepat. Hanya setahun setelah berdiri, Lekra sudah memiliki cabang di 20
kota.
Pada 1951, Njoto bersama Mula Naibaho dan Supeno, memimpin suratkabar
Harian Rakjat. Dengan gelar andalan Iramani, Njoto rutin menulis
editorial, pojok, tajuk rencana, atau kolom Catatan Seorang Publisis. Di
tiap-tiap peringatan hari ulangtahun Harian Rakyat, Njoto mengumpulkan
pidato-pidatonya dan disusunlah menjadi buku kecil berjudul Pers dan
Massa, terbit tahun 1958.
Sekurun 2 Juni hingga 9 Juli 1964, terjadi polemik antara harian
Merdeka asuhan BM Diah melawan Harian Rakjat. Merdeka menyokong Badan
Pendukung Soekarnoisme (BPS) yang menentang PKI, sedang Harian Rakjat
menuntut pembubaran BPS. Inilah salahsatu konflik terbesar dalam sejarah
pers Indonesia. Dalam pada itu, Njoto menulis, “Kemerdekaan menang atas
pendjadjahan, demokrasi menang atas facisme, perdamaian menang atas
agresi, revolusi menang atas kontrarevolusi dan sosialisme serta
komunisme menang atas kapitalisme.”
Insiden Gerakan 30 September 1965 yang memposisikan PKI sebagai
terdakwa membuat Harian Rakjat terpaksa berhenti terbit pada 3 Oktober
1965. Njoto sendiri hilang tanpa jejak sejak 16 Desember 1965. Istri dan
ketujuh anaknya sempat ditahan di salahsatu Kodim di Jakarta selama
beberapa bulan. Pihak Angkatan Darat menganggap Njoto adalah orang
paling berbahaya saat itu. Njoto merupakan salahsatu dari Tiga Serangkai
pemimpin PKI selain DN Aidit dan MH Lukman. Dari politik Njoto besar,
karena politik pula Njoto menuai lebur. “Kesalahan politik adalah lebih
jahat daripada kesalahan artistik,” begitu salahsatu bunyi amanat
anggota Politbiro CC PKI itu (Sumber : Sejarahku)
0 komentar:
Posting Komentar