Tiga Puluh September kembali mengunjungi kita. Satu hari kelam yang
mengubah nasib seluruh rakyat pekerja Indonesia. Alkitab mengatakan: So the last will be first, and the first will be last
(Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang
terdahulu akan menjadi yang terakhir). Dan demikianlah nasib Partai
Komunis Indonesia, yang jatuh dari ketinggiannya sebagai partai komunis
terbesar di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Tidak berlebihan kalau kita
mengatakan kalau kejatuhan PKI merombak tatanan politik dunia saat itu.
Setiap tahun, kita merayakan hari ini sebagai sebuah peringatan akan
kekejaman rejim kapitalis yang tidak segan-segan membantai musuhnya.
Penulis-penulis Kiri berlomba-lomba memproduksi artikel untuk mengecam
Soeharto, rejim Orde Baru, dan pemerintahan AS. Tuntutan-tuntutan untuk
menggali kebenaran sejarah dan mengadili yang bertanggungjawab atas
pembantaian ini pun bertebaran. Juga tidak luput adalah teori-teori
mengenai siapa yang sesungguhnya ada di belakang peristiwa G30S dan apa
yang sebenarnya terjadi saat itu.
Tentu semua ini adalah sesuatu yang perlu kita lakukan. Kita masih
harus terus berjuang melawan propaganda kapitalis yang mencoreng
kebenaran sejarah Indonesia. Namun ada bahaya kalau ini semua hanya
menjadi ritual keluh-kesah tahunan, seperti kaum liberal dan
sosial-demokrat yang hanya pandai mengeluh mengenai kekejaman
kapitalisme namun impoten dalam menawarkan jalan keluar. Analisa
mengenai G30S tidaklah lengkap kalau tidak disertai penawaran solusi
revolusioner dan analisa yang bisa membawa kita lebih dekat ke
kemenangan sosialisme.
Kita harus berani bertanya: mengapa PKI bisa jatuh begitu mudah?
Mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menunjukkan jari kita ke kelas
penguasa adalah satu hal yang sama sekali tidak memberikan jawaban.
Keganasan kaum kapitalis sudah kita kenal dengan baik. Saat Komune Paris
1871 diberantas secara kejam oleh kapitalis, 80 ribu jiwa melayang di
kota Paris yang berpenduduk 1,8 juta orang; dalam kata lain 4,4 persen
penduduk Paris dibantai. Populasi Indonesia pada tahun 1965-66 adalah 90
juta. Bila kita ambil estimasi korban dari Jendral Sarwo Edhie Wibowo,
yakni 3 juta, yang merupakan perkiraan tertinggi, maka persentase korban
pembantaian 1965-66 adalah 3,3 persen. Jadi, tidak ada yang mengejutkan
mengenai kekejaman kelas penguasa. Juga, bukankah setiap hari kita
menyaksikan kekejaman kapitalis di pabrik-pabrik yang pengap dimana
keringat buruh diperas?
Trik-trik, dusta, fitnah, dan kemunafikan kelas penguasa juga bukan
sebuah jawaban yang memuaskan, karena semua ini adalah karakter alami
dari kapitalisme. Kekejaman dan trik-trik kelas kapitalis adalah sebuah
keniscayaan, sebuah kondisi objektif. Kita sebagai agen aktif perubahan,
sebagai agen subjektif di dalam perjuangan kelas, harus melihat ke
kebijakan kepemimpinan PKI – yang juga adalah agen subjektif – untuk
bisa menjelaskan kekalahannya.
Banyak yang berpendapat bahwa tindakan non-demokratis Aidit yang
membentuk Biro Khusus adalah penyebab ambruknya PKI. Aidit dan Biro
Khususnya, yang bertindak di luar jalur demokrasi partai, melakukan
tindakan gegabah yang lalu dimanfaatkan oleh Soeharto sebagai dalih
untuk memukul PKI. Hegel dalam dialektikanya mengatakan: necessity expresses itself through an accident
(keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat sebuah
kecelakaan/kebetulan). Dalam kasus ini, kebetulan tersebut adalah
penculikan dan pembunuhan tujuh jendral oleh perwira progresif, disertai
oleh tindakan “keblinger” Aidit dan Biro Khususnya yang terlibat di
dalam aksi ini, secara langsung ataupun tidak langsung. Karena kebijakan
PKI selama berpuluhan tahun sudah keliru, maka kejatuhan PKI sebenarnya
hanya menunggu waktu saja. Kejatuhan PKI sudah menjadi keniscayaan yang
tinggal menunggu percikannya saja, dan percikan ini adalah peristiwa
G30S. Bila tidak ada G30S, maka peristiwa lain akan terjadi dan para
jendral reaksioner tetap akan memukul PKI. John Rossa dalam bukunya
“Dalih Pembunuhan Massal” menunjukkan bahwa Amerika Serikat, tuannya
para jendral reaksioner, sedang menunggu waktu yang tepat untuk memukul
PKI. Mereka sedang menunggu alasan yang tepat.
Jadi PKI jatuh bukan karena Aidit dan Biro Khususnya. Yang lebih
fundamental adalah kebijakan PKI dalam perjuangan kelas. Perjuangan
kelas tidaklah mengenal belas kasihan. Pada akhirnya, hanya akan ada
satu kelas yang menang. Situasi perjuangan kelas yang tajam tidak bisa
terus-menerus bertahan tanpa adanya hasil akhir, seperti halnya sebuah
pertandingan bola yang seru akhirnya harus selesai dengan satu kubu
menang dan kubu yang lain kalah.
Revolusi adalah sebuah proses, dan bukanlah drama satu babak.
Revolusi Indonesia dimulai sejak 17 Agustus 1945, dan dalam 20 tahun
selanjutnya revolusi ini mengalami pasang surut. Namun tidak ada satu
kubu yang keluar sebagai pemenang akhir selama periode tersebut. Kelas
kapitalis terlalu lemah untuk merebut kekuasaan, sementara kelas
proletariat tidak punya kepemimpinan yang bisa merebut kekuasaan. Karena
situasi yang menggantung ini, sosok Soekarno terlempar ke depan.
Kendati beretorika revolusioner dan berbicara bahasa sosialisme,
Soekarno, layaknya seorang reformis ulung, melakukan manuver-manuver
handal tanpa pernah menyelesaikan masalah terpenting di dalam langkah
menuju sosialisme: pembubaran negara kapitalis dan pembentukan negara
baru. Mari kita kembali lagi ke tesis Lenin mengenai negara, bahwa
negara pada analisa terakhir adalah “badan khusus orang-orang
bersenjata”. Pada momen penentuan, Soekarno, sebagai pemimpin negara
tertinggi, tidak punya kendali apapun terhadap negara, terhadap badan
khusus orang-orang bersenjata. Soekarno bertindak layaknya kaum reformis
dalam parlemen kapitalis yang berilusi bahwa mereka memegang kekuasaan
negara.
Sementara PKI, sebagai partai perjuangan rakyat pekerja, justru
mengekor Soekarno dan mengimplementasikan kebijakan reformis. PKI
berpendapat bahwa negara kapitalis ini bisa diubah menjadi “pemerintahan
rakyat” dengan perlahan-lahan menyingkirkan elemen-elemen anti-rakyat
dan memasukkan lebih banyak elemen-elemen pro-rakyat. Ini seperti para
pemimpin buruh reformis yang berilusi bahwa kalau mereka bisa
memenangkan lebih banyak kursi parlemen dan akhirnya mendapat mayoritas,
maka pemerintahan ini sudah bukan lagi negara borjuasi dan buruh
menjadi berkuasa. Lenin dalam bukunya “Negara dan Revolusi” menyerang
habis-habisan ide keliru ini guna mempersiapkan Partai Bolshevik Rusia
untuk merebut kekuasaan negara, menghancurkan negara borjuasi tersebut,
dan membentuk negara yang baru. Sementara PKI tidak pernah mempersiapkan
anggota-anggota partainya dan rakyat pekerja untuk melakukan ini.
Alasannya: bahwa revolusi ini adalah revolusi borjuis demokratik, dan
tugas PKI oleh karenanya bukanlah untuk membentuk negara buruh
(kediktaturan proletar), tetapi pemerintahan rakyat (kediktaturan
rakyat) dengan metode penggantian personel secara perlahan-lahan.
Perjuangan kelas harus disubordinasikan di bawah perjuangan nasional,
begitu kesimpulan para petinggi PKI. Namun, para jendral reaksioner dan
kaum kapitalis mengerti lebih baik, bahwa perjuangan yang mereka hadapi
adalah perjuangan kelas. Memang benar, secara umum, kalau kaum kapitalis
jauh lebih sadar kelas daripada kelas proletariat, dan bahkan
kadang-kadang lebih sadar kelas daripada para pemimpin proletar.
Pembentukan Biro Khusus juga merupakan satu kesimpulan logis dari
kebijakan “menyingkirkan elemen-elemen anti-rakyat dan memasukkan lebih
banyak elemen-elemen pro-rakyat.” Lenin dan Partai Bolshevik
memenangkan tentara ke pihaknya bukan dengan manuver-manuver dangkal
seperti itu, tetapi dengan mengorganisir kelas buruh, mendidik mereka
bahwa negara adalah badan khusus orang-orang bersenjata dan bahwa
kekuasaan negara harus direbut secara revolusioner, bahwa negara borjuis
harus dihancurkan karena buruh tidak bisa menggunakan negara borjuis
sebagai alatnya, dan bahwa buruh harus membentuk negara barunya sendiri.
Semua perspektif keliru ini tidaklah jatuh dari langit ke pangkuan
Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman dengan sendirinya. Perspektif
reformis ini adalah kebijakan dari kaum birokrasi Stalinis, dan para
pemimpin PKI boleh dibilang sial telah dididik oleh kaum Stalinis.
Kemenangan kaum birokrasi Uni Soviet, yang dipersonifikasikan oleh Josef
Stalin, adalah faktor sejarah yang menentukan banyak perkembangan
partai-partai komunis di dunia. Kaum birokrasi mempunyai satu karakter
utama: mereka menyukai rutinitas dan oleh karenanya selalu merasa tidak
nyaman dengan topan badai revolusi. Perspektif membangun sosialisme di
satu negeri, yang merupakan teori utamanya Stalin, adalah manifestasi
dari karakter tersebut. “Buat apa repot-repot mengobarkan revolusi dunia
yang bisa-bisa membahayakan kedudukan kita? Mari kita ambil jalan aman
dengan membangun sosialisme saja di dalam batasan negara kita,” begitu
pikir kaum birokrasi Stalinis, yang lalu memformulasikan pemikiran ini
ke dalam teori “sosialisme di satu negeri” atau yang di Tiongkok
sekarang dikenal dengan nama “Sosialisme dengan karakter Tiongkok”.
Komintern pun dibubarkan akhirnya pada tahun 1943 karena revolusi dunia
tidaklah sesuai dengan kepentingan kaum birokrasi. Perspektif
revolusioner diubah menjadi perspektif reformisme, dan ini disuplai ke
semua partai komunis dunia. Oleh Moskow dan Beijing, PKI dipersenjatai
dengan perspektif reformisme untuk menghadapi revolusi, yang tentu saja
hancur berkeping-keping ketika dihantam oleh realitas perjuangan kelas
pada momen penentuan.
Kita hanya perlu menanyakan ini: dimana Uni Soviet dan Tiongkok
ketika partai komunis terbesar ketiga di dunia diremukkan oleh Soeharto?
“Kaum buruh sedunia bersatulah” hanyalah slogan kosong bagi kaum
birokrasi Stalinis dan Maois. Mereka pada dasarnya tidak tertarik untuk
mengobarkan revolusi dunia untuk membangun sistem sosialisme sedunia.
Mereka ingin hidup bersama berdampingan dengan kapitalisme. Prinsip co-existence
atau eksistensi bersama dengan kapitalisme adalah prinsip utamanya kaum
birokrasi yang ingin nyaman, tenang, dan damai. Sekarang kaum birokrasi
Uni Soviet telah menjadi kapitalis baru di Rusia, dan kaum birokrasi
Partai Komunis Tiongkok telah berhasil eksis bersama dengan kapitalisme.
Pada tahun 2001 kaum kapitalis di Tiongkok boleh menjadi anggota PKT,
dan lalu tahun ini orang terkaya di Tiongkok, Wengen Liang,
dinominasikan untuk dipilih menjadi anggota Komite Pusat PKT pada tahun
2012.
Hanya dengan perspektif revolusioner yang tepat maka kita bisa
memenangkan revolusi. Lenin mengajarkan kita ini, namun “murid-murid
setianya” kerap melupakan ini.
Mari untuk sesaat kita berhenti berkeluh kesah mengenai G30S. Petik
pelajaran dari kegagalan ini untuk memastikan keberhasilan revolusi
sosialis selanjutnya. Hanya kelas buruh yang bisa memimpin negara ini
keluar dari kesengsaraan kapitalisme. Kita harus mendidik kelas kita
untuk mandiri dari kelas borjuis, seprogesif apapun mereka di penampilan
luarnya. Jangan taruh kepercayaan secuilpun pada kelas borjuasi dan
kaum liberal sosial-demokrat bayaran mereka. Kaum buruh harus percaya
pada kekuatan mereka sendiri dan ideologi mereka sendiri, Marxisme.
Kegagalan rejim ini untuk menggali kebenaran sejarah G30S dan
menghukum yang bersalah hanya membuktikan satu hal, bahwa hanya hukum
proletar yang bisa memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi jutaan
kamerad-kamerad kita yang darahnya ditumpahkan.
Ditulis oleh Ted Sprague |
Ottawa, 30 September 2011
http://www.militanindonesia.org
Blogger Comment