Catatan Kritis Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional seperti tersebut pada Pasal 3 Bab II Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mencermati Tujuan Pendidikan Nasional diatas, terlalu banyak tantangan yang menghambatnya dan menjadi catatan kritis untuk segera diperbaiki oleh pengambilan kebijakan (Kemendiknas). Berikut catatan kritis tersebut :

Pertama : carut marut Ujian Nasional 2013, mungkin pelaksanaan UN terburuk selama 67 tahun Indonesia merdeka. Pro dan kontra perlu tidaknya UN, sampai sekarang belum selesai. Wajar kalau pelaksanaan UN sekarangpun bermasalah terus, dan menuntut agar Menteri Pendidikan mengundurkan diri.


Kedua : bongkar pasang Kurikulum. Juni 2013 pada saat memasuki tahun ajaran baru akan terjadi perubahan kurikulum pendidikan. Waktu yang sangat mepet dan belum dilakukannya sosialisasi ini ada kesan "pemaksaan" dari pemangku kepentingan. Apalagi perubahan kurikulum itu tidak menyeluruh semua tingkatan, hanya untuk kelas 1 dan 4 tingkat sekolah dasar, dan tingkat SMP, MTs, SMA, SMK hanya kelas 1 saja. Sejak Indonesia merdeka telah terjadi Sembilan kali perubahan kurikulum pendidikan, namun tidak jelas kemana sasarannya. Bahkan pemahaman di kalangan pelajar terhadap nilai-nilai nasionalisme cenderung luntur. Lantas, kemana arah kurikulum 2013 ini?
 
Selain itu, dalam kurikulum 2013 tidak ada istilah penjurusan untuk siswa Sekolah Menengah. Sebaliknya, sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa akan diganti dengan sistem peminatan. Misalnya, siswa yang memiliki minat di bidang IPA tetap mempelajari ilmu sosial dan sejarah, namun porsi jam belajar untuk mata pelajaran IPA ditambah. Jadi, yang sebelumnya cuma belajar fisika tiga jam akan berubah jadi empat jam. Inilah garis besar perubahan kurikulum 2013 yang harus dipahami oleh guru-guru yang ada di 148 ribu di sekolah dasar se Indonesia. Cukupkah waktu untuk melakukan sosialisasi, sekaligus pelatihan terhadap guru untuk memahami kurikulum baru ini? Karena guru adalah ujung tombak untuk mensukseskan kurikulum 2013.


Ketiga : kebijakan Sertifikasi guru dan Dosen, terkesan sebagai upaya mengejar target agar belanja Pendidikan 20 persen dari APBD/APBN mudah dicapai karena merupakan amanat UUD 1945. Bagi guru dan Dosen yang memiliki sertifikat akan mendapat tunjangan profesi, tentunya ini beban APBD/APBN. Maka berlombalah para guru dan Dosen, memperoleh Sertifikat walaupun dengan jalan curang / tidak wajar (KKN). Peningkatan kualitas pendidikan itu tak perlu sertifikasi tapi bisa dilakukan dengan pelatihan peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru.


Keempat : gelar akademik, semudah menjual pisang goreng. Gelar-gelar akademis yang diberikan perguruan-perguruan tinggi semudah menjual pisang goreng, bayar uang kuliah, buat daftar hadir fiktif, Skripsi-Thesis-Disertasi, diupahkan maka jadilah mahasiswa tersebut SH, SE, MSi, doktor dan sebagainya.

Lembaga penjualan ijazah seperti itu tidak layak disebut lembaga pendidikan atau perguruan, karena tidak meningkatkan keilmuan peserta didiknya. Walaupun sangat mengganggu, tidak ada pihak yang dapat menindaknya.


Nah, gelar akademis kini sudah merupakan feodalisme kebangsawanan baru. Inikah dampak kemajuan pendidikan kita?


Persoalan-persoalan dasar inilah seharusnya yang terlebih dahulu dibenahi oleh Pemerintah. Jangan hanya bercita-cita generasi cerdas secara akademik, tapi melupakan nilai-nilai moral yang sebenarnya dasar dari cerminan pendidikan nasional. Generasi yang cerdas harus diimbangi dengan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral, memiliki rasa nasionalisme, menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, serta Pancasilais. Cerdas saja tidak cukup untuk mendongkrak mutu pendidikan di negeri ini.

Dari organisasi/kelompok profesi pemangku jabatan fungsional guru dan Dosen sebaiknya menuju terciptanya suatu sub-kultur masyarakat belajar yang berorientasi pada budaya dan etos kerja yang berorientasi pada kinerja, Komunikatif dan terbuka, suka menerima perubahan dan pembaharuan. Untuk itu kebanggaan profesional perlu dimiliki. Penghargaan atas peran dan prestasi tidak untuk dminta, melainkan harus direbut atau akan diberikan sesuai dengan kinerja. Kecepatan kemajuan suatu organisasi pendidikan ternyata lebih banyak ditentukan oleh motif prestasinya, bukan oleh sarana, sumber-sumber dan fasilitas yang tersedia.

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment