Penindasan
terhadap kaum perempuan telah berlangsung sejak lama hingga sekarang. Ketika
kita berbicara tentang diskriminasi perempuan, maka hal yang paling dikaitkan
adalah budaya patriarki dan negara. Patriarki merupakan budaya yang membatasi
perempuan dalam kehidupan sosial sebagai akibat dari monopoli kaum lelaki atas
sektor publik serta membatasi ruang gerak perempuan hanya pada ruang domestik
saja. Hal ini merupakan warisan turun temurun yang sampai sekarang masih kuat
mengakar dalam masyarakat kita. Sementara, negara juga turut berperan atas
suksesnya penindasan perempuan. Hal ini dapat kita lihat pada produk hukum
negara berupa undang-undang yang sangat tidak memihak pada perempuan. Taruhlah
misalnya Undang-Undang Pornografi dan Perda larangan ngangkang di Aceh yang
isinya malah mendiskriminasikan perempuan. Ataupun juga dengan hukuman yang
diberikan kepada pelaku pelecehan dan kekerasan tidak membuat efek jera
sehingga pelaku lain masih bebas berkeliaran. Pada akhirnya, dengan kondisi ini, perempuan kehilangan
hak-haknya dan terasing di antara manusia lain dalam entitas keperempuanan
mereka.
Dalam
patriarki, terdapat pembagian kerja dalam keluarga, dimana tugas-tugas domestik
dikerjakan oleh perempuan tanpa digaji. Memasak, mengurus rumah, membesarkan
anak hingga mengatur keuangan keluarga dibebankan kepada perempuan. Bahkan, tak jarang kekerasan dalam
rumah tangga terjadi justru dianggap sebagai hal yang lumrah pola pikir
masyarakat bahwa suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya karena suami
adalah pencari nafkah dalam keluarga. Pada sektor publik, posisi
perempuan ditempatkan pada wilayah yang bukan prioritas. Perempuan lebih sering
menempati pekerjaan di sektor pelayanan jasa ataupun pekerjaan-pekerjaan yang
sifatnya umum semisal sekretaris atau kasir. Seringkali juga perempuan
dijadikan objek kekerasan dan pelecehan seksual, baik secara verbal, fisik dan
psikis. Ini dikarenakan anggapan secara umum bahwa perempuan adalah makhluk
yang lemah, mudah diintimidasi tanpa sanggup melawan. Ketika terjadi
pelecehan seksual, justru malah perempuan yang dipersalahkan sehingga
perempuan tidak berhak sama sekali atas tubuh,
pikiran dan tindakan mereka.
Kasus-kasus
kekerasan pun meningkat dengan tajam. Dan kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kasus pelecehan seksual seorang siswi
SMU yang dilakukan oleh wakil kepala sekolah SMU tersebut di daerah Jakarta
Timur. Dari data Komnas Perempuan, ada 119 ribu kasus kekerasan terjadi selama
2012, meningkat sebanyak 13,32 persen dari tahun 2011 sebanyak 105 ribu kasus. Paling banyak
kasus yang terjadi adalah kasus kekerasan dalam rumh tangga (KDRT), disusul
kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual.
Di era neoliberalisme sekarang ini, yang paling merasakan
dampaknya adalah perempuan. Lemahnya posisi perempuan dalam keluarga, hingga
para pengusaha mengeruk
keuntungan dengan mengorbankan perempuan. Perempuan juga dianggap sebagai
komoditi ; sebagai barang yang dapat menghasilkan nilai lebih sehingga terjadilah
pengeksplotasian terhadap tubuh mereka sendiri. Iklan-iklan produk bertabur
kemolekan tubuh perempuan marak ditampilkan. Buruh-buruh perempuan digaji rendah
dan hak-hak normatif mereka yang seringkai diabaikan oleh pemilik pabrik
seperti cuti haid dan cuti melahiran. Itulah mengapa mayoritas di pabrik-pabrik,
sebagian besar pekerjanya adalah perempuan. Belum lagi ketakutan-ketakutan kaum
perempuan karena tidak adanya perlindungan keselamatan bagi mereka. Ketika
situasi mengharuskan untuk pulang larut atau naik angkutan umum. (contoh kasus
kematian mahasiswi UI karena melompat
dari angkutan umum), mereka dikejar-kejar kecemasan atas keselamatan diri mereka
sendiri. Terbatasnya jaminan kesehatan, tidak adanya jaminan keselamatan dan jaminan
sosial bagi ibu dan anak (semisal Tempat Penitipan Anak dan ruang
menyusui) yang belum direalisasikan oleh pemerintah, menunjukkan betapa
lemahnya peran negara atas keberpihakan mereka terhadap kaum perempuan.
Situasi
seperti ini sudah selayaknya membuka mata pemerintah kita betapa perempuan
butuh jaminan atas diri mereka. Selama ini, pemerintah dinilai tidak turut
memperhatikan nasib kaum perempuan dan dianggap gagal dalam mewujudkan keadilan
bagi perempuan. Jangan salahkan perempuan ketika mereka berjuang menuntut
keadilan dan kesetaraan karena perlawanan yang mereka tunjukkan adalah bukti
perjuangan mereka untuk mengangkat diri mereka dari kungkungan patriarki dan
menuntut tanggungjawab pemerintah atas nasib mereka. Dapat kita lihat pada
perayaan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret lalu,
organisasi-organisasi pro demokrasi seperti KPO PRP (Kongres Politik Organisasi
Perjuangan Rakyat Pekerja), Sekber Buruh, Politik Rakyat, Perempuan Mahardika dan
yang lainnya melakukan demonstrasi dengan mengusung tuntutan antara lain agar
pemerintah memberikan jaminan keselamatan terhadap perempuan termasuk jaminan
kesehatan dan akses perlindungan terhadap perempuan, upah layak bagi buruh
perempuan, stop eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan
kesetaraan ekonomi politik bagi perempuan.
Sebenarnya ada
beberapa langkah yang seharusnya dilakukan oleh negara mengingat ada begitu
banyaknya persoalan yang terjadi terhadap kaum perempuan.Yang pertama; perempuan haruslah mendapatkan keadilan dalam bidang
ekonomi, sosial, politik dan hukum. Menghapus undang-undang yang selama ini
dianggap menjauhkan perempuan dari rasa keadilan dan atau membuat undang-undang
yang tidak diskriminatif. Negara memberikan hak berpolitik bagi perempuan,
berkewajiban membebaskan perempuan untuk memilih pekerjaan, memberi upah yang
layak dengan tidak memandang jenis kelamin, menghukum para pengusaha yang tidak
memberikan cuti haid dan cuti hamil hingga cuti melahirkan kepada pekerja
perempuan serta membangun tempat penitipan anak dan dan ruang khusus menyusui
bagi pekerja perempuan yang memiliki anak
Kedua; negara
berkewajiban untuk membebaskan perempuan dari eksploitasi dan kekerasan
seksual. Memberikan sanksi atau hukuman
yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan melalui penerapan
yang tegas terhadap produk hukum yang
ada dengan tidak memandang kedudukan dan jabatan si pelaku. Dan negara juga harus memberikan jaminan
kesehatan dan jaminan keselamatan bagi perempuan. Adanya pemeriksaan kesehatan
gratis dan menyeluruh terhadap organ reproduksi serta keamanan terhadap perempuan yang melakukan aktivitas
terutama di malam hari.
Sekali lagi,
negara diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi pada
kaum perempuan. Sebab, sudah merupakan tanggungjawab pemerintah untuk
melindungi rakyatnya dan karena perempuan adalah bagian dari rakyat itu
sendiri.
Blogger Comment