6 Februari 1925 – 6 Februari 2013
Blora, Jawa Tengah, 88 Tahun Yang Lalu, Pak
Pram Lahir.
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin
mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra,
kalian tinggal hanya hewan yang pandai”. (Magda Peters, Bumi Manusia)
“Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan
adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang
terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhaan adalah
kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan”. (Pramoedya Ananta Toer, Mereka
Yang Dilumpuhkan)
“Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang
memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pengeran dan para bupati sudah
jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja,
para pangeran, dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai. Kalau para
raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada
Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai. (Gadis
Pantai)
20 Tahun setelah Pak Pram lahir, Bob Marley
pun lahir
Emancipate yourselves from mental slavery,
none but ourselves can free our minds. Have no fear for atomic energy, ‘cause
none of them can stop the time (Redemption Song, Bob Marley)
Mengenang Pak Pram.
Pikiranku menjulur melilit gunungan tebing
bentang jiwa, yang ditempa panas-hujan, siang-malam. Langsung ketemu kosakata:
buku, novel, sastra, Lekra, budaya, seni, realisme sosialis, penjara, lapar, pembuangan,
siksaan, ancaman rezim, Pulau Buru, tahan derita, memar, tuli, anti rasis,
nobel, Blora. Begitulah pikiranku menghinggapi padanan kata yang cocok untuk
Pak Pram. Ya, Pak Pram seorang komunis yang baik. Matipun sebagai komunis, dan
tidak ada azab dalam proses pemakamannya seperti yang ada di sinetron religi.
Pak Pram, yang tanggal dan bulan kelahirnya
sama dengan Bob Marley, meski beda tahun, sepanjang hidup dilalui penuh
kesulitan, dikejar-kejar lalu sembunyi, begitu terus. Pak Pram lebih sering bertatap
muka dengan gelap dan cadas jiwa ketimbang biru langit dan segar udara. 3 tahun
meringkuk dalam tahanan kolonial belanda, 1 tahun dijebloskan ke penjara oleh
Soekarno—karena Pak Pram menolak peraturan pemerintah No. 10/1959 yang mengusir
warga Cina yang berdagang di Indonesia di bawah komando Pangdam Siliwangi yang
dipimpin Kolonel Kosasih sebagai koordinator operasi lapangan—dan 14 tahun
dirampas kebebasannya oleh Orde Baru, ditambah dengan bonus siksaan.
Pak Pram adalah sastrawan besar yang diakui
dunia internasional tapi disingkirkan di negeri sendiri. Karya Pak Pram
dijadikan sebagai salah satu referensi sastra di kampus luar negeri, tapi di
dalam negeri karyanya tak dipakai. Malah sastra Taufik Ismail—yang gemar
membakar bukunya Pak Pram lah—yang dijadikkan referensi. Dari situlah kenapa
organisasi mahasiswa PEMBEBASAN meletakkan karya Pak Pram agar dijadikan
sebagai referensi dalam kurikulum pelajaran/mata kuliah sastra sebagai salah
satu program perjuangannya.
2013: Pertarungan Politik dan Moral Borjuis.
Tahun demi tahun laju, sambil menutup mata,
waktu melibas segalanya, tentang kesadaran, sistem politik, dominasi kekuasaan,
dan semua tentang kisah manusia. Perkembangan demokrasi juga masuk dalam
lingkarannya. Sungguh menguntungkan memang ruang demokrasi di Indonesia hasil
kreativitas gerakan 1998. Seminimal mungkin, ruang tersebut ada dan merubah
banyak hal. Yang sebelum 1998 banyak gerakan dan individu yang masih takut,
setelahnya, maju paling depan sambil seoalah-olah membusungkan dada menjadi
paling pro reformasi, menjadi tiba-tiba jualan demokrasi, tanpa berkeringat,
tanpa disiksa, tanpa mengorbankan nyawa menghadapi tentara orba. Bisa dilihat,
organisasi/parpol mana saja yang lahir setelah orba tumbang. Parpol yang
sebelumnya ada pun seperti mengikuti arus perubahan, sambil menikmati segarnya
udara. Kemudian, demokrasi melahirkan banyak lembaga-lembaga, seperti Komnas
HAM, Komnas Perempuan dan yang belakangan heboh adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi. Masing-masing parpol berkompetisi saling menjatuhkan dengan sekuat
tenaga membongkar tindak korupsi lawan politik. Dalam tradisi politik yang
penuh persaingan, hal itu bisa diwajarkan. Partai Demokrat, Golkar, PAN, PDI-P
dan partai lain kader-kader utamanya bersinggungan dengan tindak korupsi. Yang
paling mutakhir adalah PKS, partai yang mendeklarasikan diri sebagai partai
religious dan bersih ini tersungkur dalam lingkaran korupsi. Lalu Iwan Fals
bilang: “…urus saja moralmu, urus saja akhlaqmu, peraturan yang sehat yang
kami mau…”.
Bagaimanakah kita menilai perilaku saling
menjatuhkan antar parpol tersebut? Dalam kamus politik, keberadaan oposisi
memang sangat diperlukan, terlebih dalam praktik politik borjuis. Peran
kompetitor politik/oposisi bisa memberi dampak ‘positif’ dalam rangka ‘mengontrol’
lawan politik meski tujuannya adalah saling menjatuhkan namun, ada positifnya
seperti: meminimalisir korupsi, terlepas besar-kecilnya efek positif dari
kompetisi antar parpol borjuis tersebut, dengan adanya upaya membongkar korupsi
dari lawan politiknya, maka bisa menguntungkan Negara dalam menyelamatkan
anggaran, terlebih anggaran untuk dana-dana sosial. Ya, bahasa lainnya adalah: bandit
yang membongkar kejahatan bandit lain. Maka, jika ada parpol dan politisi
terbongkar kasus korupsinya dan mereka beralasan bahwa ‘terdapat konspirasi
besar’ di balik pembongkaran kasus korupsi, itu hanyalah apologi murahan.
Karena, jika memang benar ada ‘konspirasi untuk menjatuhkan’, setidaknya
terungkap bahwa korupsi tetaplah merugikan Negara, dan itu kejahatan. Lalu
makin apriori-lah rakyat dengan politik berikut moralitas politisinya.
Begitulah politik kita saksikan. Bila kita gambarkan tentang moralitas borjuis,
dengan ukuran masyarakat kapitalis, dalam aspek budaya menyayangi rakyat miskin
pun berbeda. Karena, Cinta—sebagai ekspresi relasi kasih sayang kepada rakyat
miskin—oleh kaum borjuis pada akhirnya hanya menjadi seruan moral dari
manusia-manusia MUNAFIK !! Dalam makna ekonomi politiknya, agar, kata nuraninya
borjuis: Biarkan orang yang kaya “membantu” yang miskin tanpa mempertimbangkan
(bahkan menutupinya dari orang miskin) bagaimana kekayaan yang didapat (oleh
borjuis) sesungguhnya diperoleh dari hubungan-hubungan keji dan eksploitatif
yang dilakukannya terhadap kaum melarat.
Rakyat harus menciptakan kebudayaannya
sendiri.
Kebudayaan rakyat telah lama hilang. Tepatnya,
dihilangkan dan dihancurkan, oleh kekuasaan 32 tahun, dan 15 tahun berikutnya
setelah 1998, sampai sekarang. Dengan begitu, makin reduplah kebudayaan rakyat,
budaya revolusioner hasil dari revolusi nasional 1945. Sekarang, peninggalan
ide-ide revolusioner kebanyakan hidup dalam teks. Hanya budaya aksi massa-lah
yang masih mengambil bentuknya, muncul dalam kesadaran rakyat, meski budaya
aksi massa dicemooh, dicibir dan terus diganggu oleh kekuasaan.
Karya-karya revolusi sama nasibnya dengan yang
lain. Tokoh-tokohnya dibajak oleh kapitalisme, dijadikan ikon-ikon politik
tanpa diberi maknanya, hanya sebagai trend dalam budaya pop, bahkan bisa
dijadikan komoditi bagi kapitalis. Kita sangat mengerti betul dengan ikon Che
Guevara yang menyebar di seluruh dunia, ada di banyak toko baju. Hingga
akhirnya, Aleida Guevara, anak dari Che Guevara menyatakan keberatan dengan
kenyataan tersebut, dia mengatakan: “….pria yang berjuang dan tewas untuk
menentang kapitalisme tidak sewajarnya digunakan sebagai alat untuk menjual
Vodka Inggris, minuman Prancis dan ponsel Swiss, dsb. Kami tidak ingin uang,
kami menuntut penghormatan“. Ikon Che yang diambil dari hasil jepretan
fotografer Kuba, Alberto Korda, dan diposterkan oleh Fitzpatrick memang laris
di pasar, seperti kacang goreng dan Blackberry. Fitzpatrick, yang juga pembuat
cover album music dari group Band Thin Lizzy dan Sinnead
O’Connor, merencanakan pergi ke Havana, Kuba, untuk menyerahkan kepemilikan
hak cipta itu kepada kerabat dekat dan keturunan Guevara, dia mengatakan: “Ini
bukan soal mencari uang, ini soal bagaimana memastikan agar karya itu digunakan
secara benar, tidak dipakai untuk tujuan komersial yang kasar“. Che hanya
jadi ikon kaos, wallpaper laptop, DP BlackBerry Messenger . Memang benar,
pahlawan lahir setelah kematiannya. Sukses membantu perang gerilya bersama
Fidel Castro dan gerilyawan Kuba lainnya, 1967 ia hijrah ke Bolivia, terlibat
dalam perang gerilya juga, di situlah Che tertangkap dan dibunuh.
Dalam seni kontemporer: dominasi kreativitas
ide-ide kebudayaannya berkiblat pada nilai borjuis hingga pada praktik seni dan
senimannya. Kesenian (hiburan) yang tayang, sama sekali tidak ada kepentingan
dan hubungannya dengan kesakitan rakyat. Boy dan Girl Band-nya asyik sendiri
lincah menari di pentas panggung miliaran rupiah, musik daerah berkutat dengan
hanya sekedar mempertahankan tradisi leluhur dan ekskistensi kedaerahan, namun
kosong jiwa, rendah nilai, minim estetika, apalagi revolusioner. Padahal,
seharusnya, melalui seni grafis dan sastra bisa mempertemukan futurisme dan
revolusi. Bahan-bahan atau materialnya dari: kondisi sosial dan teknologi yang
ada (basis produksi), dipertemukan dangan dialektika politik (gerakan sosial
revolusioner), menghasilkan gambaran (futurisme) dari masa depan sejarah umat
manusia. Sejarah umat manusia yang diretasnya setahap-demi setahap menuju
kehendak sosialisme. Lekra sudah mengawali itu, sebelum akhirnya dihancurkan
orde baru. Terlihat dari manifesto politik LEKRA yang paling terkenal dengan
ungkapan Kombinasi 1.5.1. Oleh LEKRA, Kombinasi 1.5.1 memiliki arah bahwa
rakyat-lah pencipta kebudayaan, Kombinasi tersebut adalah: menempatkan Politik
Sebagai Panglima manjadi asas dan basis dari lima kombinasi kerja,
yaitu (1) meluas dan meninggi (2)tinggi mutu
ideologi dan tinggi mutu artistik (3) tradisi baik dan
kekinian revolusioner (4) kreativitas individuil dan kearifan
massa (5) realisme sosialis dan romatik revolusioner. Dari ke
5 kerja tersebut, Asas kerjanya adalah Turun Ke Bawah.
Masyarakat Indonesia dalam Politik-Kebudayaan.
Sebelum tahun 1965, ada dua arus besar yang
bertentangan dalam menilai sastra/kebudayaan/kesenian di Indonesia. Yaitu ada
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mengusung Seni untuk Rakyat, Politik
sebagai Panglima dan Realisme Sosialis yang selalu membumikan budaya kritis dan
budaya perlawanan terhadap kekuasaan sang Tiran. Kelompok yang kedua adalah dia
yang menamakan diri sebagai Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Para kaum
Manikebuis ini selalu mengusung Seni untuk Seni dan Humanisme Universal. Yang
oleh Pramoedya Ananta Toer—tokoh Realisme Sosialis Indonesia—mengatakan bahwa
pertarungan antara dua kubu itu diistilahkan sebagai “perang babad Lekra” yang
berlangsung tahun 1959 – 1965. Artinya adalah, perseteruan dari dua kubu
tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan sastra Indonesia.
Antara kedua kubu tersebut, dengan sendirinya telah memberikan naskah-naskah
penting yang seringkali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu
atau suatu organisasi dalan berkesenian. “Perang” yang tidak adil ini memang
dimenangkan oleh kubu Manikebu dengan imbalan jutaan manusia mati, ratusan ribu
dipenjara dan disiksa tanpa proses pengadilan. Sampai sekarang, genderang
perang akan terus kami kobarkan!
Dan dari situlah kemudian tulisan ini aku
mulai.
Sejarah telah mengajarkan pada kita tentang
makna penindasan dan akhirnya, tidak bisa tidak, kita harus melawan. Itulah
yang terjadi dengan Indonesia setelah tahun 1965, sejarah yang diajarkan dengan
control dan represifitas, di bawah kekuasaan orde baru, kekuasaan di tangan
kolaborasi militer dan kapitalis internasional.
Penetrasi kekuatan modal yang datang
menjadikan semua sistem politik, hukum, ekonomi juga sosial berada dalam
kungkungan terali bernama orde baru. Begitu juga dengan kesenian/kebudayaan
yang dianggap membahayakan kekuasaan orde baru, diberangus dari atas bumi
manusia, tidak hanya dengan itu, pemutarbalikan fakta telah diwacanakan
orde baru untuk menghancurkan kesadaran rakyat sehingga kekuasaan orde baru
berdiri kokoh tanpa ada budaya kritis dari rakyat. Seketika itu juga, tidak
lama setelah pemerintahan orde baru berkuasa, maka gerakan kesenian rakyat
mengalami kehancuran dan mendapatkan represifitas dari tentara-tentara fasis.
Semua unsur yang terkait dengan kesenian rakyat/kiri dibantai tanpa ampun.
Unsur-unsur kiri dimusnahkan, baik orang-orangnya, politiknya, kesadarannya,
organisasinya, dan juga kebudayaannya.
Sastra dan kebudayaan di Indonesia yang
merupakan hasil dari proses revolusi nasional, mencapai kemajuan pada tahun
1950 – 1965—sebelum akhirnya dilumpuhkan oleh orde baru. Artinya pada
tahun-tahun itu, kebudayaan dan sastra di Indonesia telah menemukan karakternya
untuk berkembang menjadi kebudayaan yang tak terpisah dengan rakyat. Karena
didukung juga oleh kondisi obyektif dari kemajuan gerakan rakyat saat itu,
gerakan rakyat yang benar-benar sadar akan ketertidasan ekonomi-politiknya.
Kesadaran yang merangkak maju tersebut dapat dijadikan sebagai faktor perkembangan
seni dan budaya. Ungkapan dari Soekarno yang berbunyi: “Go To Hell With Your
Aid” akan menjadi semangat untuk melakukan bentuk perlawanan yang lebih maju.
Semangat yang diajarkan oleh Soekarno adalah semangat pembebasan dari imperium
modal dan kolonialisme. Indonesia pra revolusi nasional telah melahirkan
manusia-manusia pembebas. Sebut saja Tirto Adhi Soeryo, Siti Soendari,
Pramoedya, Semaun adalah tokoh-tokoh yang mempunyai keteguhan sikap untuk tidak
terkooptasi oleh kekuasaan kolonial pada zamannya. Begitu juga dengan Max
‘Multatuli’ Havelaar yang mencoba berpropaganda—agar rakyat bangkit
melawan—dengan tulisan-tulisannya yang berbahasa pribumi.
Begitu juga dengan Kartini: seorang pemula
perjuangan perempuan yang mendobrak feodalisme Jawa yang berwatak
patriarkis—lewat pemikirannya dalam korespondensinya kepada Stella
Zehandelaar—juga layak untuk dijadikan pahlawan pada zamannya. Karenanya-lah
Kartini menjadi sumber inspirasi gerakan budaya pembebasan perempuan.
Djawa Dipa 1914, sebuah gerakan anti feodal
Jawa yang berkembang menjadi gerakan anti kolonialisme Belanda; dilanjutkan
dengan pergulatan Ki Hadjar Dewantara membangun Taman Siswa, gerakan pendidikan
modern yang berbasiskan kebudayaan bagi rakyat tertindas.
Kita bisa melihat keteguhan Mas Marco
Kartodikromo, dalam petikan tulisannya:
“Dalam pengertian Marxisme, kebudayaan
adalah produk dari proses corak produksi pada tiap fasenya. Pada fase komunal
primitif, perbudakan, feudal, capital dan komunal modern selalu akan
menciptakan kebudayaannya masing-masing dengan watak dan karakter yang berbeda.
Dalam rangka melakukan pembelaan terhadap si lemah/rakyat miskin/proletar, maka
sebaik-baiknya memang harus memiliki keberfihakan yang jelas. Begitu juga
dengan kebudayaan. Budaya haruslah dijadikan sebagai alat propaganda bagi
pembebasan kesadaran manusia. Konsep budaya yang membebaskan adalah kebudayaan
yang membela kepentingan klas tertindas. Dengan begitu, maka wujud dari budaya
yang dihasilkan juga akan dengan sendirinya mewakili kepentingan klas tertindas
yang akan mengakhiri kontradiksinya dengan berkuasa.”
Beberapa fase dari perubahan corak produksi
yang sudah ada, terlihat bahwa masing-masing corak produksi selalu menciptakan
watak kebudayaannya sendiri. Patriarki adalah olah karya paling sukses dari
masyarakat feudal. Permasalahan patriarki sudah sangat mengakar-urat dalam otak
manusia, bahkan sampai sekarang. Proses penyingkiran terhadap hak-hak
fundamental perempuan untuk merdeka seakan dipertahankan oleh rezim secara
terus menerus demi kepentingan modal. Perempuan dijadikan sebagai market share
yang paling menguntungkan dengan pencitraan sosok tubuh perempuan yang
didoktrinkan oleh sistem capital.
Kekuasaan modal menghancurkan seluruh
sendi-sendi kehidupan manusia dan pemikirannya.
Sejak 1966 s/d 1998, kebudayaan
kiri/kritis/revolusioner hanya diketahui secara samar-samar oleh rakyat
Indonesia, karena memang dihancurkan oleh orde baru, bukan cuma gerakannya,
tapi juga sejarahnya, dihilangkan dari ingatan. Pembungkaman pemikiran/ide-ide
yang beraliran Marxist menyebabkan budaya revolusioner menjadi “ghaib” dalam
perwujudannya. Zaman kapitalisme telah menciptakan produk budayanya sendiri
sesuai dengan logika modal mereka. Konstruksi pemikiran tentang konsumerisme
pun didoktrinkan melalui media dengan membentuk opini masyarakat.
Ujung-ujungnya adalah masyarakat sekarang terjerumus dalam kehidupan ganda yang
aneh dalam memandang nilai ekonomis sebuah produk. Konsumsi yang tidak sesuai
dengan nilai guna menjadi indicator keberhasilan dari doktrin budaya
kapitalisme. Orang membeli karena prestige. Selain itu juga dalam persaingan
pasarnya, para kapitalis menjadi rakus memakan semua pesaing-pesaingnya yang
berasal dari golongan kecil, tidak manusiawi. Selain itu juga mereka
menggunakan topeng agama sebagai alat pengesahan kejahatan. Institusi agama
dijadikan fungsi legislasi bagi penindasan. Maka muncullah budaya konservatif
atau fundamentalisme agama. Hal tersebut muncul dalam bentuk
pelarangan-pelarangan berpendapat yang diamini oleh agamawan. Dengan dalil
Tuhan, mereka mengharamkan gerakan yang bersikap kritis terhadap kebijakan
pemerintah, gerakan kiri juga diberangus memakai legitimasi ketuhanan. Maka
budaya kritis-pun menemukan musuh yang nyata.
Dari banyaknya budaya-budaya yang tidak
membebaskan tersebut, membuat masyarakat Indonesia menjadi hilang ingatan akan
sejarah perlawanan bangsanya yang dulu sempat ada. Buah dari deideologisasi dan
depolitisasi orde baru menyebabkan masyarakat Indonesia memiliki watak yang
mudah menyerah. Rakyat menjadi tidak memiliki kemandirian penuh, anti
kontradiksi dan oportunis. Watak oportunis tercermin dalam tindakan politik
para elite politiknya—juga gerakan “rakyat”nya—yang kooptatif dan kooperatif
terhadap borjuasi agen imperialisme. Dimana faktor-faktor tersebutlah yang
sesungguhnya membahayakan gerakan demokratik. Dengan kata lain, revolusi
demokratik telah menemukan hambatan/musuhnya yang lain yang terbentuk karena
budaya. Maka yang menjadi tugas utama dari gerakan yang revolusioner adalah
menyingkirkan hambatan tersebut guna memuluskan jalan revolusi demokratik
menuju sosialisme. Seperti kata Maxim Gorky : “Jika musuh tidak mau menyerah,
maka ia harus dihancurkan”. Mengembalikan ingatan rakyat dari deideologisasi
dan penghilangan ingatan selama 32 tahun lebih, menjadi pekerjaan yang teramat
sukar, yang harus diupayakan secara radikal dan seluas-luasnya dalam propaganda
gerakan pelopor. Terutama bagi para pekerja budaya yang sampai saat ini masih
banyak yang berkarakter humanis, tidak revolusioner. Pengupayaan propaganda
kesadaran sejati yang dilakukan harus berada diluar syarat-syarat dari
kapitalisme. Artinya adalah, harus memiliki watak yang anti kooptasi dan anti
kooperasi—tidak oportunis. Dari sekian banyak budaya perlawanan yang berhasil
dimundurkan oleh rezim orba, ada satu bentuk budaya revolusioner yang mulai
kembali sering dilakukan oleh rakyat, yaitu budaya aksi massa. Kemenangan kecil
itu harus kita maknai sebagai capaian yang positif untuk bergerak maju. Dengan
ruang yang sempit sekarang ini, budaya aksi massa bisa dijadikan sebagai metode
yang efektif untuk menuntun rakyat meraih kepercayaan dirinya kembali, biar
rakyat berani dan mampu membela dirinya sendiri dengan kekuatan massa,
PERSATUAN.
Jika dilihat dari situasi yang berkembang saat
ini, gerakan yang mengaku mewakili kepentingan klas tertindas pun sudah
kehilangan arah di tengah gempuran budaya kapitalisme, mereka dengan mudahnya
terkooptasi. Itu yang lebih membahayakan bagi proses perjuangan klas.
Mulai sekarang, rakyat harus berani bangkit
membela dirinya sendiri. Organisasi yang maju dan massa yang progressif harus
mampu memimpin gerakan rakyat dan kesadarannya (melalui kebudayaan). Mengapa
demikian? Karena kita harus mampu melihat arti penting kerja kebudayaan bagi
revolusi demokratik yang semakin menemui banyak hambatan. Berangkat dari
kenyataan diatas dan juga pentingnya melihat bahwa perjuang kebudayaan harus
mengambil sikap untuk ikut dalam garda depan penghancur faktor-faktor
penghalang revolusi demokratik dan mempersiapkan kondisi yang mendukung
pertumbuhan kebudayaan rakyat dengan kesadaran yang lebih tinggi, dalam rangka
meluruskan kembali ingatan sejarah, memperbaiki kegagalan revolusi-revolusi
sebelumnya, dan juga melakukan propaganda lewat kesenian yang kerakyatan..
Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari perjuangan klas, karena harus kita
maknai juga bahwa revolusi sosialis haruslah dijalankan dengan kebudayaan
revolusioner. Dengan demikian perjuangan rakyat pun akan menemukan jalan yang
lurus. Dengan adanya budaya yang berkesadaran palsu, maka kita harus mampu
melihat apa saja yang menjadi faktor penghambat pertumbuhan kebudayaan
revolusioner. Seperti yang diungkapkan Jubaar Ayub Sekjend LEKRA 1955:
1. Tiadanya kesadaran, bahwa perjuangan rakyat
terutama perjuangan buruh tani tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan
kebudayaan.
2. Sentimen terhadap segala seusatu yang
berhubungan dengan kebudayaan sebagai akibat menyamaratakan kultur rakyat
dengan kultur borjuis.
3. Tidak adanya dorongan dari gerakan rakyat,
terutama gerakan buruh dan tani untuk memperhatikan masalah kultur.
4. Ketidakmampuan seniman rakyat sebagai pekerja
kebudayaan rakyat untuk menarik garis kebudayaan rakyat dengan kebudayaan
borjuis, meskipun kebudayaan rakyat sendiri memberikan bahan yang
berlimpah-limpah.
5. Ketidakmampuan dari gerakan rakyat, terutama
gerakan buruh tani dalam usaha menarik golongan inteligensia dan pelajar pemuda
yang berpikiran maju ke dalam barisannya.
Dalam taktiknya, propaganda sosialisme lewat
kebudayaan bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk, seperti: puisi, lagu,
cerpen, kethoprak, film dan berbagai bentuk berupa panggung rakyat yang mudah
dipahami dan diakses rakyat. Sekedar kritikan: Buat gerakan
kesenian/kebudayaaan rakyat yang sekarang ada, hanya menjadi pemanis ketika ada
aksi-aksi massa, seniman dan budayawannya hanya menjadi pengisi musik dan
pembaca puisi saja dalam aksi-aksi massa yang digelar ketika massa aksi sudah
mulai lelah berdemonstrasi, padahal yang lebih penting adalah bagaimana
mengorganisasikan rakyat lewat kebudayaan kiri di kampung-kampung dan
memobilisasi mereka dalam aktifitas-aktifitas revolusioner. Maka, bentuk
kebudayaan yang mempunyai isian propaganda sosialisme akan tercermin dalam dua
hal, yaitu politik kiri dan kebudayaan kiri. Politik kiri tercermin dengan
program dan metode politik yang anti imperialis, demokratis, radikal dan
kerakyatan. Sedangkan dalam kebudayaan kiri akan tercermin dalam budaya anti
kooptasi, budaya berlawan (radikal, militan, dan cerdik), konsisten, teguh
pendirian, tidak anti kontradiksi. Perwujudan tersebut akan menjadikan rakyat
memiliki pemahaman yang berkesadaran maju sehingga rakyat dengan sendirinya
akan mendapati kepercayaan dan keberaniannya kembali lagi. Rakyat harus berani
menuntut haknya, rakyat harus mau bergerak, kita harus bersatu. Seperti kata
Pak Pram: “Kalau mati harus dengan berani; kalau hidup juga harus dengan
berani. Jika keberanian tidak ada, itu sebabnya semua bangsa bisa jajah kita”.
Salam Budaya Pembebasan !
Salam Juang !
Terus Berkobar!
(ditulis oleh BarraPravda, Kolektif
Nasional PEMBEBASAN- dimuat di http://pembebasan-pusat.blogspot.com)
Blogger Comment