Semaun Dan Lenin
Kata-kata di atas kelihatannya sederhana, tetapi tidak pernah tuntas
diperdebatkan. Tak sedikit kaum ortodoks yang memperlakukan marxisme tak
ubahnya kitab suci, yang berlaku sama bagi umat manusia di mana saja, yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat.
Hal ini pernah melanda sejumlah pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1920-an. Indonesianis dari Cornel University, Ruth T McVey, pernah mengulas hal itu dalam karyanya yang berkepala: “The Rise of Indonesian Communism/Kemunculan Komunisme Indonesia.”
Kemenangan revolusi Rusia, yang menandai keunggulan strategi-taktik
kaum Bolshevik, segera menarik kekaguman kaum marxis di berbagai belahan
dunia. Mereka kemudian berusaha mengikuti apa yang disebut “model
Rusia” atau “jalan Bolshevik”.
Kabar kemenangan revolusi Rusia sampai juga di Indonesia. Adolf Bars,
salah seorang tokoh ISDV, segera mengulas kemenangan itu melalui sebuah
artikel di Het Vrije Woord. Kemenangan revolusi Rusia benar-benar memberi ilham bagi kaum marxis Indonesia.
Pada sebuah aksi demonstrasi di Batavia, Desember 1917, Bars telah
menyerukan agar “kelas bawah Indonesia mengikuti jejak Rusia”. Lalu,
pada Kongres ISDV di tahun 1918, Ia kembali menyerukan agar mengikuti
jalan yang telah ditempuh oleh kaum Bolshevik.
Sejurus dengan itu, sejak akhir 1917, ISDV mulai mengorganisasikan
soviet di kalangan tentara dan pelaut. Garda Merah, yang berisi tentara
dan pelaut, segera merekrut anggota di mana-mana. Terbukti, idealisme
ISDV untuk “mengikuti jejak Rusia” itu menemui kagagalan. Garda Merah
berhasil dipatahkan oleh penguasa kolonial tahun 1919.
Pada tahun 1917, di Semarang, seorang komunis muda berusia 19 tahun
berhasil merebut kepemimpinan Sarekat Islam (S) di Semarang. Pemuda itu
bernama Semaun. Ketika SI Semarang masih di bawah pengurus lama,
Moehammad Joesoef, pendukungnya sebagian besar berasal dari kaum
menengah dan pegawai. Begitu Semaun mengambi kepemimpinanan, sebagian
besar pendukung SI Semarang berasal dari kaum buruh dan rakyat kecil.
Soe Hok Gie dalam bukunya, Di Bawah Lentera Merah, mencatat
arti penting kemenangan itu: “pergantian pengurus itu adalah wujud
pertama dari perubahan gerakan di dalam SI, dari gerakan kaum menengah
menjadi gerakan buruh tani.” Ia juga menandai kejadian itu sebagai
“penanda lahirnya gerakan kaum marxis pertama di Indonesia.”
Semaun membangun partainya dengan berpijak pada kenyataan yang hidup
di sekitarnya. Dengan begitu, Ia membangun propagandanya berdasarkan
kenyataan-kenyataan sosial yang terhampar di depannya, seperti persoalan
agraria, wabah pes, Indie Weebaar. Di tangannya, marxisme diterjemahkan
dalam keadaan-keadaan khusus di sekitarnya.
Sejak tahun 1919, catat Ruth McVey, ISDV makin intensif mempengaruhi
Sarekat Islam. Ruth McVey menyebut strategi ISDV bekerja di dalam
Sarekat Islam sebagai “strategi di dalam blok/block within”.
Tentu saja, strategi ISDV ini tidak lazim bagi kaum marxis saat itu. SI
adalah gerakan non-marxis, yang pimpinannya adalah borjuis moderat. Di
Kongres ke-2 Komunis Internasional diserukan perlawanan terhadap
Pan-Islamisme karena berusaha menggabungkan gerakan pembebasan melawan
imperialisme Eropa dan AS dengan upaya memperkuat para khan, tuan-tanah,
mullah, dsb.”
Tan Malaka, yang berpidato di Kongres Komintern tahun 1922,
menguraikan kesuksesan strategi ini: “Partai kita, terdiri dari 13,000
anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di
dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi
program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasi pedesaan mengenai
kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani
miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat
Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya
saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.”
Strategi ini bukan tanpa penentangan internal. Pada Agustus 1920,
Bergsma dan Bars menulis tesis-tesis mengenai formula kerjasama antara
kaum komunis dan non-komunis. Tesis itu, antara lain, menyerukan
pengorganisasian proletariat industri dan pengajaran sosialisme kepada
mereka. Tesis itu juga menekankan perlunya mengakhiri kerjasama dengan
borjuis nasionalis.
Pada tahun 1921, terjadi keretakan antara SI-PKI akibat serangan
pribadi Darsono terhadap pimpinan SI, termasuk Tjokroaminoto. Situasi
itu dimanfaatkan sayap konservatif SI untuk mendorong disiplin partai
dan menendang keluar sayap kiri. Namun, Semaun getol menyerukan
persatuan diantara kedua golongan guna mengakhiri keretakan itu.
Kebijakan Semaun didukung oleh penggantinya, Tan Malaka, yang
menganggap perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap
kepemimpinan Sarekat Islam. Ia mengimpikan sebuah kerjasama seperti
Kongres Nasional di India, yang bisa menyatukan semua faksi untuk
melawan imperialisme.
Tetapi ada pandangan Semaun yang dianggap kontroversial, yakni
bagaimana bertindak dalam situasi yang berubah. Menurut Semaun, depresi
ekonomi yang terjadi saat itu, yang membuat pengusaha dalam posisi
terjepit, bukanlah waktu yang tepat untuk melancarkan opensif, termasuk
melancarkan pemogokan. Sikap Semaun ini kemudian dianggap “tidak
Bolshevik” oleh kawan-kawannya di PKI.
Lantaran sikap itu, pada Oktober 1921, Semaun diutus sebagai delegasi
PKI dalam Kongres Pertama Rakyat Pekerja Timur Jauh dan Sidang Pleno
Diperluas Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Banyak yang
menduga, termasuk Ruth McVey, bahwa penunjukan Semaun sebagai delegasi
ke Rusia agar bisa mengembalikannya ke jalan yang benar: Bolshevik.
Namun, yang terjadi di Kongres itu justru diluar dugaan. Dalam Sidang
Pleno Diperluas ECCI, di Moskow, Lenin hadir. Dan, seperti yang ditulis
Ruth McVey dari hasil wawancara dengan Semaun, bahwa Semaun sempat
ditemui langsung oleh Lenin. Semaun, yang duduk di barisan belakang,
didatangi oleh Lenin setelah diberitahu bahwa Semaun mewakili komunis
dari Hindia-Belanda.
Semaun langsung meminta maaf kepada Lenin, karena kecilnya partai di
Indonesia dan kurangnya pengetahuan marxisme. Namun, Lenin menjawab,
bahwa yang terpenting adalah menyatukan masyarakat untuk melawan
imperialisme.
Menurut Semaun, pemimpin Bolshevik itu mendiskusikan gerakan
revolusioner di negara jajahan, termasuk Hindia-Belanda, tidak harus
meniru semua pola Revolusi Rusia. Menurut Lenin, taktik partai komunis
Rusia tidak dapat ditiru begitu oleh partai-partai di Asia karena adanya
berbagai kondisi yang sama sekali berbeda. Bahkan, kata Lenin, karena
kondisi ekonomi dunia, Rusia harus mundur selangkah dengan Kebijakan
Ekonomi Baru (NEP).
Dengan demikian, penjelasan Lenin justru menguatkan posisi teoritik
dan strategi Semaun sebelumnya. Akhirnya, begitu kembali ke
Hindia-Belanda, Semaun langsung menyampaikan pengalamannya itu kepada
kaum pekerja di Semarang.
Memang, salah satu persoalan terbesar bagi gerakan marxis, khususnya
komunis, adalah mengcopy paste atau meniru jalan Bolshevik secara tidak
kritis. Ini makin menjadi-jadi setelah azas Marxisme-Leninisme
dipatenkan sebagai ajaran Lenin dan menjadi azas komintern dan otomatis
seluruh Partai Komunis di negeri lainnya.
Proposisi penting Marxis Leninis, yakni konsep partai yang
sentralistik dan konspiratorial, diadopsi oleh kongres Ke-III Komintern.
Lenin makin khawatir dengan gejala tersebut. Lenin bilang, “Resolusi
tersebut sangat baik, tapi hampir seluruhnya Rusia….semuanya didasarkan
pada kondisi Rusia….saya yakin bahwa tidak akan ada orang asing yang
dapat membacanya…mereka tidak akan memahaminya karena itu terlalu
Rusia…karena itu terlalu terasuki jiwa Rusia….bila dengan pengecualian
tertentu beberapa orang dari negeri lain memahaminya, ia tidak dapat
menjalankannya….Kita membuat kesalahan besar dengan resolusi ini….Kita
memblokir sendiri jalan kita menuju keberhasilan lebih jauh.” (Paul
Kellogg, Leninism; It’s Not What You Think, 2009)
Lenin sendiri, yang sukses memimpin Bolshevik dalam meraih kemenangan
dalam Revolusi Rusia, sangat kritis ketika membaca ajaran-ajaran Marx.
Lenin selalu mengingat kata-kata dari Marx dan Engels, bahwa teori kami
bukanlah dogma, melainkan panduan untuk aksi/tindakan.
Raymond Samuel
0 komentar:
Posting Komentar