Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri
Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme.
Kapital di negeri-negeri maju telah berkembang melebihi batasan-batasan
Negara-bangsa. Kapital telah membangun monopoli yang menggantikan
persaingan, dengan begitu menciptakan semua syarat objektif untuk
mencapai sosialisme. Oleh sebab itu di Eropa Barat dan di Amerika
Serikat, perjuangan revolusioner kaum proletar untuk penggulingan
pemerintahan-pemerintahan kapitalis, untuk pengambilalihan aset-aset
borjuasi, adalah sesuatu yang mendesak hari ini. Imperialisme memaksa
massa ke dalam perjuangan ini dengan mempertajam antagonisme-antagonisme
klas hingga ke tingkatan yang sangat besar, dengan memperburuk
kondisi-kondisi massa baik secara ekonomi – hutang dan biaya hidup yang
tinggi, serta secara politik – tumbuhnya militerisme,
peperangan-peperangan yang terus terjadi, meningkatnya reaksi, semakin
kuat dan meluasnya penindasan terhadap bangsa-bangsa dan penjarahan
kolonial.
Kemenangan sosialisme harus mencapai demokrasi yang sepenuhnya
dan, sebagai akibatnya, tidak hanya membawa kesetaraan sepenuh-penuhnya
di antara bangsa-bangsa, tetapi juga memberikan hak kepada
bangsa-bangsa yang tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu
hak untuk bebas memisahkan diri secara politik. Partai-partai Sosialis
yang gagal membuktikan dengan seluruh aktivitas mereka hari ini, dan
juga saat revolusi serta setelah kemenangannya, bahwa mereka akan
membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas dan membangun hubungan dengan
mereka di atas dasar sebuah persatuan yang bebas – dan sebuah sebuah
persatuan yang bebas adalah sebuah formula kosong bila tidak disertai
dengan hak untuk memisahkan diri – partai yang seperti itu akan
melakukan pengkhianatan terhadap sosialisme.
Tentu saja demokrasi juga merupakan sebuah bentuk Negara yang harus
hilang ketika Negara menghilang, namun hal ini akan terjadi hanya dalam
proses transisi dari sosialisme yang terkonsolidasi dan menang
sepenuhnya menuju ke komunisme sepenuhnya.
2. Revolusi Sosialis dan Perjuangan Untuk Demokrasi
Revolusi Sosialis bukanlah sebuah tindakan tunggal, bukanlah sebuah
pertempuran tunggal dalam satu front yang tunggal, namun adalah
keseluruhan jaman konflik-konflik klas yang semakin intensif, sebuah
rangkaian panjang pertempuran di seluruh front, yaitu pertempuran
seputar semua masalah ekonomi dan politik, yang dapat memuncak hanya
dalam pengambilalihan hak-milik kaum borjuasi. Akan menjadi kesalahan
pokok untuk menganggap bahwa perjuangan untuk demokrasi dapat
membelokkan proletariat dari revolusi sosialis, atau menghalang-halangi,
atau mengaburkannya, dsb. Sebaliknya, seperti halnya sosialisme tidak
dapat menang kecuali kalau sosialisme memajukan demokrasi seutuhnya,
maka proletariat tidak akan mampu menyiapkan kemenangan terhadap
borjuasi kecuali kalau proletariat melancarkan perjuangan yang luas,
konsisten dan revolusioner untuk demokrasi.
Akan juga menjadi kesalahan untuk menghilangkan poin apapun dari
program demokratik, sebagai contoh, poin hak penentuan nasib sendiri
dari sebuah bangsa, atas dasar bahwa program itu “tidak dapat dicapai”,
atau bahwa itu adalah “ilusi” di bawah imperialisme. Pernyataan bahwa
hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri tidak bisa dicapai
dalam kerangka kapitalisme dapat dimengerti dengan melihat makna ekonomi
yang absolut, atau dalam makna politik yang konvensional.
Dalam makna yang pertama, pernyataan tersebut secara fundamental
salah dalam teori. Pertama, dalam makna ini, adalah tidak mungkin untuk
mendapatkan hal-hal seperti kerja yang dibayar sesuai dengan nilainya
atau penghapusan krisis, dsb di bawah kapitalisme. Namun sepenuhnya
salah untuk juga berpendapat bahwa hak penentuan nasib sendiri juga
tidak dapat dicapai. Kedua, bahkan contoh Norwegia yang memisahkan diri
dari Swedia pada 1905 cukup untuk menyanggah argumentasi bahwa
pemisahaan diri sebuah bangsa “tidak dapat dicapai”. Ketiga, akan
menggelikan untuk menyangkal bahwa dengan sedikit perubahan dalam
hubungan politik dan strategis, sebagai contoh antara Jerman dan
Inggris, pembentukan Negara-negara baru, Polandia, India, dsb dapat
“dicapai” dengan cepat. Keempat, kapital finans, dalam usahanya untuk
ekspansi, akan “secara bebas” membeli dan menyuap pemerintahan yang
paling bebas, paling demokratik dan paling republik serta para pejabat
terpilih dari negeri manapun, bagaimanapun “independennya” pemerintahan
tersebut. Dominasi kapital finans, seperti juga kapital secara umum,
tidak dapat dihilangkan oleh reformasi bentuk apapun di dalam ranah
demokrasi politik, dan hak penentuan nasib sendiri secara keseluruhan
dan eksklusif ada di dalam ranah tersebut. Namun dominasi kapital finans
tidak sedikitpun menghancurkan signifikansi demokrasi politik sebagai
bentuk penindasan kelas dan perjuangan kelas yang lebih bebas, lebih
luas, dan lebih jelas. Oleh karena itu semua argumentasi yang menyatakan
bahwa “kemustahilan mencapai” secara ekonomi salah satu tuntutan
demokrasi politik di dalam kapitalisme mereduksi diri mereka sendiri ke
dalam sebuah definisi yang secara teori keliru mengenai relasi-relasi
umum dan fundamental dari kapitalisme dan dari demokrasi politik secara
umum.
Dalam makna yang kedua, pernyataan tersebut adalah tidak lengkap dan
tidak tepat, karena bukan hanya hak sebuah bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri, tetapi juga semua tuntutan pokok dalam demokrasi
politik adalah “mungkin untuk dicapai” di bawah imperialisme, hanya
dalam bentuk yang tidak lengkap, termutilasi dan sebagai sebuah
pengecualian yang langka (sebagai contoh, pemisahaan Norwegia dari
Swedia pada 1905). Tuntutan untuk kemerdekaan segera bagi negeri-negeri
jajahan, seperti yang diajukan oleh semua kaum Sosial Demokrat
revolusioner, juga “tidak mungkin dicapai” di bawah kapitalisme tanpa
serangkaian revolusi. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Sosial
Demokrasi harus menahan diri dari melancarkan sebuah perjuangan yang
segera dan paling tegas untuk semua tuntutan tersebut – untuk menahan
diri hanya akan memberikan keuntungan pada borjuasi dan reaksi.
Sebaliknya, hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa penting
untuk memformulasikan dan memajukan semua tuntutan tersebut, bukan
dengan cara yang reformis, namun dengan cara yang revolusioner; bukan
dalam kerangka legalitas borjuasi, namun dengan menerobosnya; bukan
dengan membatasi diri pada pidato-pidato parlementer dan protes-protes
verbal, namun dengan mendorong massa ke dalam aksi yang riil, dengan
memperluas dan mengobarkan perjuangan untuk setiap tuntutan demokratik
yang pokok, sampai dengan dan termasuk juga serangan langsung
proletariat terhadap borjuasi, yakni sampai ke revolusi sosialis yang
akan melucuti borjuasi. Revolusi sosialis dapat terjadi bukan hanya
akibat pemogokan umum, demonstrasi jalanan, kerusuhan akibat kelaparan,
pemberontakan di dalam tentara atau pemberontakan di negeri-negeri
jajahan, namun juga akibat krisis politik apapun, seperti skandal
Dreyfus[1], insiden Zabern[2], atau dalam hubungannya dengan referendum untuk memisahkan diri dari sebuah bangsa yang tertindas, dsb.
Intensifikasi penindasan nasional di bawah imperialisme menjadikan
sebuah keharusan bagi Sosial Demokrasi untuk tidak meninggalkan apa yang
digambarkan oleh borjuasi sebagai perjuangan “utopis” bagi kemerdekaan
bangsa-bangsa untuk memisahkan diri, tetapi, sebaliknya, untuk mengambil
keuntungan lebih banyak dari konflik-konflik yang juga muncul atas
dasar perjuangan tersebut dengan tujuan untuk membangkitkan aksi massa
dan serangan revolusioner terhadap borjuasi.
3. Makna Hak Penentuan Nasib Sendiri dan Hubungannya dengan Federasi
Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri bermakna hanya
hak untuk kemerdekaan dalam arti politik, hak untuk pemisahan politik
secara bebas dari bangsa yang menindas. Secara konkrit, tuntutan
demokratik dan politik ini berarti kebebasan sepenuhnya untuk beragitasi
mendukung pemisahan diri dan kebebasan untuk menyelesaikan persoalan
pemisahan diri dengan cara referendum dari bangsa yang ingin memisahkan
diri. Sebagai akibatnya, tuntutan ini bukan berarti identik dengan
tuntutan memisahkan diri, untuk partisi, untuk pembentukan negeri-negeri
yang kecil. Tuntutan tersebut adalah ekspresi logis dari perjuangan
melawan penindasan nasional dalam setiap bentuk. Semakin dekat sistem
demokratik negeri tersebut kepada kebebasan sepenuhnya untuk memisahkan
diri, akan menjadi semakin lemah dan jarang praktek untuk memperjuangkan
pemisahan diri; karena keuntungan-keuntungan dari negeri-negeri yang
besar, baik dari sudut pandang perkembangan ekonomi dan dari sudut
pandang kepentingan massa, adalah hal yang tidak diragukan lagi; dan
keuntungan-keuntungan ini meningkat seiring dengan pertumbuhan
kapitalisme. Pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri tidaklah
sama dengan membuat federasi menjadi sebuah prinsip. Seseorang dapat
saja menentang dengan teguh prinsip federasi tersebut dan mendukung
sentralisme demokratik, namun lebih memilih federasi ketimbang
ketidaksetaraan nasional sebagai jalan satu-satunya untuk menuju
sentralisme demokratik yang utuh. Adalah dari cara pandang ini, Marx,
meskipun seorang sentralis, lebih memilih federasi Irlandia dengan
Inggris ketimbang penundukan paksa Irlandia kepada Inggris.
Tujuan sosialisme adalah bukan hanya untuk menghapus pembagian umat
manusia hari ini ke dalam negeri-negeri kecil dan semua isolasi
nasional; bukan hanya untuk membawa bangsa-bangsa menjadi semakin dekat,
namun juga untuk menyatukan mereka. Dan untuk mencapai tujuan ini kita
harus, di satu sisi, menjelaskan kepada massa sifat reaksioner dari
ide-ide Renner dan Otto Bauer mengenai apa-yang-disebut-sebagai “otonomi
budaya nasional” dan, di sisi yang lain, menuntut kemerdekaan
bangsa-bangsa yang tertindas, bukan dalam kata-kata umum dan
samar-samar, bukan dalam pernyataan-pernyataan kosong, bukan dengan
“menunda” persoalan tersebut hingga sosialisme dimenangkan, namun dengan
sebuah program politik yang terformulasikan secara jelas dan tepat,
yang secara khusus akan menjelaskan kemunafikan dan kepengecutan kaum
Sosialis di negeri-negeri yang menindas. Seperti juga umat manusia dapat
mencapai penghapusan klas-klas hanya dengan melewati periode transisi
dari kediktaktoran klas-klas yang tertindas, demikian juga umat manusia
dapat mencapai keniscayaan persatuan bangsa-bangsa hanya dengan melewati
periode kemerdekaan sepenuhnya dari semua bangsa-bangsa yang tertindas,
yaitu kebebasan mereka untuk memisahkan diri.
4. Presentasi Proletariat Revolusioner Mengenai Persoalan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Bukan hanya tuntutan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri
namun juga semua item dari program demokratik minimum kita telah
diajukan sebelum kita, jauh sejak abad ke tujuh belas dan delapan belas,
oleh kaum borjuis kecil. Dan kaum borjuis kecil, yang percaya pada
kapitalisme “damai”, hingga hari ini terus mengedepankan semua tuntutan
tersebut dengan cara utopis, tanpa melihat perjuangan klas dan fakta
bahwa perjuangan kelas ini telah menjadi semakin intensif di bawah
demokrasi. Gagasan persatuan damai dari bangsa-bangsa yang setara di
bawah imperialisme, yang menipu rakyat, dan yang diajukan oleh kelompok
Kautsky[3],
adalah seperti itu. Untuk melawan kaum utopis yang filistin dan
oportunis ini, program Sosial Demokrasi harus menunjukkan bahwa di bawah
imperialisme pembagian bangsa-bangsa menjadi yang menindas dan yang
tertindas adalah sebuah kenyataan yang pokok, yang paling penting dan
tidak dapat dihindari.
Kaum proletariat dari bangsa-bangsa yang menindas tidak dapat
membatasi dirinya sendiri pada ungkapan-ungkapan yang umum dan lazim
menentang aneksasi dan mendukung hak yang setara dari bangsa-bangsa
secara umum, sesuatu yang dapat diulang-ulang oleh kaum borjuasi pasifis
manapun. Proletariat tidak dapat menghindari masalah yang sangat “tidak
menyenangkan” bagi kaum borjuasi imperialis, yakni, masalah perbatasan
sebuah bangsa yang berdasarkan atas penindasan nasional. Kaum
proletariat harus melawan pengekangan paksa bangsa-bangsa yang tertindas
di dalam batas-batas bangsa tertentu, dan inilah makna perjuangan untuk
hak penentuan nasib sendiri. Kaum proletariat harus menuntut hak
politik untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi
bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsanya “sendiri”. Jika kaum
proletariat tidak melakukan hal itu, internasionalisme proletariat akan
menjadi ungkapan yang tidak bermakna; saling percaya dan solidaritas
klas antar buruh dari bangsa-bangsa yang menindas dan tertindas akan
menjadi mustahil; kemunafikan dari kaum reformis dan para pendukung
Kautsky yang mendukung hak penentuan nasib sendiri namun bungkam
mengenai bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka” dan dipenjara
secara paksa di dalam negeri “mereka” akan tetap tidak terekspos.
Kaum Sosialis dari bangsa-bangsa yang tertindas, di sisi yang lain,
secara khusus harus berjuang untuk dan mempertahankan persatuan absolut
(juga secara organisasional) antara buruh dari bangsa yang tertindas
dengan buruh dari bangsa yang menindas. Tanpa persatuan semacam itu akan
menjadi mustahil untuk mempertahankan kebijakan proletariat yang
independen dan solidaritas klas dengan proletariat dari negeri-negeri
lain di hadapan semua akal-akalan, pengkhianatan dan tipu daya borjuasi;
karena kaum borjuasi dari bangsa yang tertindas selalu mengubah slogan
pembebasan nasional menjadi alat untuk menipu buruh; dalam politik
internal kaum borjuasi bangsa yang tertindas menggunakan slogan tersebut
sebagai alat untuk melakukan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan
kaum borjuasi dari bangsa yang berkuasa (sebagai contoh, kaum borjuasi
Polandia di Austria dan Rusia, yang membuat perjanjian dengan kelompok
reaksi untuk menindas kaum Yahudi dan orang Ukraina); dalam ranah
politik luar negeri dia berusaha membuat perjanjian dengan salah satu
pesaing kekuatan imperialis dengan tujuan untuk memenangkan
kepentingan-kepentingan predatornya sendiri (kebijakan negeri-negeri
kecil di Balkan, dsb).
Kenyataan bahwa di bawah kondisi-kondisi tertentu perjuangan
pembebasan nasional melawan satu kekuatan imperialis dapat digunakan
oleh Kekuatan “Besar” lainnya untuk kepentingan yang juga imperialis
tidak boleh mendorong Sosial Demokrasi untuk mencampakkan pengakuan
terhadap hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, seperti
halnya dalam banyak kasus dimana kaum borjuasi menggunakan slogan
republik untuk tujuan penipuan politik dan perampokan ekonomi, contohnya
di negeri-negeri Amerika Latin, tidak mendorong mereka untuk
meninggalkan republikanisme.
5. Marxisme dan Proudhonisme Mengenai Persoalan Kebangsaan
Berkebalikan dengan kaum demokrat borjuis-kecil, Marx menganggap
semua tuntutan demokratik, tanpa terkecuali, bukanlah sebagai sebuah hal
yang aboslut, namun merupakan ekspresi sejarah dari perjuangan massa
rakyat, yang dipimpin oleh kaum borjuasi, dalam melawan feodalisme.
Tidak ada satu tuntutan demokratik pun yang tidak dapat menjadi, atau
belum menjadi, di bawah kondisi-kondisi tertentu, sebuah instrumen kaum
borjuasi untuk menipu kaum buruh. Untuk hanya memilih satu tuntutan
demokrasi politik, yaitu, hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, dan mempertentangkannya dengan tuntutan-tuntutan demokrasi
politik lainnya, adalah secara fundamental keliru dalam teori. Dalam
praktek, kaum proletariat akan mampu mempertahankan kemandiriannya hanya
jika dia mensubordinasikan perjuangannya untuk semua tuntutan
demokratik, termasuk juga tuntutan untuk sebuah republik, kepada
perjuangan revolusionernya untuk menggulingkan borjuasi.
Di sisi yang lain, berkebalikan dari kelompok Proudhon, yang
“menolak” persoalan kebangsaan “atas nama revolusi sosial”, Marx, yang
memikirkan terutama kepentingan perjuangan klas buruh di negeri-negeri
maju, memajukan prinsip pokok internasionalisme dan sosialisme, yakni
bahwa tidak ada bangsa yang dapat bebas jika ia menindas bangsa lain.
Justru dari sudut pandang kepentingan gerakan revolusioner dari kaum
buruh Jerman Marx pada tahun 1898 menuntut supaya demokrasi yang
menang-jaya di Jerman harus memproklamirkan dan memberikan kemerdekaan
kepada bangsa-bangsa yang ditindas oleh Jerman. Justru dari sudut
pandang perjuangan revolusioner kaum buruh Inggris Marx pada tahun 1869
menuntut pemisahan Irlandia dari Inggris, dan menambahkan: “…meskipun
setelah pemisahan mungkin akan muncul federasi.” Hanya dengan memajukan
tuntutan tersebut maka Marx benar-benar mendidik kaum buruh Inggris
dalam semangat internasionalisme. Hanya dengan cara itu dia mampu
mempertentangkan solusi revolusioner dari sebuah masalah historis
tertentu dengan kaum oportunis dan reformisme borjuis, yang bahkan
hingga sekarang, setengah abad kemudian, telah gagal untuk mencapai
“reforma” Irlandia. Hanya dengan cara ini Marx dapat – tidak seperti
para apologis kapital yang berteriak-teriak mengenai hak bangsa-bangsa
kecil untuk memisahkan diri sebagai sesuatu yang utopis dan mustahil,
dan mengenai sifat progresif dari konsentrasi ekonomi dan juga politik –
mendorong sifat progresif dari konsentrasi tersebut dengan cara yang
non-imperialis, untuk mendorong persatuan dari bangsa-bangsa, bukan
dengan pemaksaan, namun atas dasar persatuan bebas kaum proletariat dari
semua negeri. Hanya dengan cara ini Marx mampu, juga dalam hal solusi
untuk persoalan kebangsaan, mempertentangkan aksi revolusioner massa
dengan pengakuan verbal dan yang seringkali munafik atas kesetaraan dan
hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Perang Imperialis
tahun 1914-16 dan kandang Augean[4]
kemunafikan dari kaum oportunis dan para Kautskyian yang dibongkarnya
telah menegaskan kebenaran kebijakan Marx, yang harus menjadi model
untuk semua negeri-negeri maju; karena mereka semua saat ini menindas
bangsa-bangsa lain.
6. Tiga Tipe Negeri Dalam Hubungannya dengan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Dalam hal ini, negeri-negeri harus dibagi menjadi tiga tipe utama:
Pertama, negeri-negeri kapitalis maju Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Di negeri-negeri ini gerakan borjuis nasional yang progresif
telah berakhir lama sekali. Setiap bangsa “besar” tersebut menindas
bangsa lain di dalam negeri-negeri jajahan dan di dalam negeri mereka
sendiri. Tugas proletariat di negeri-negeri berkuasa tersebut adalah
sama dengan proletariat di Inggris pada abad kesembilan belas dalam
hubungannya dengan Irlandia.
Kedua, Eropa Timur: Austria, Balkan dan terutama Rusia. Di sini
adalah abad keduapuluh yang secara khusus mengembangkan gerakan nasional
borjuis-demokratik dan mengintensifkan perjuangan nasional. Tugas
proletariat di negeri-negeri tersebut – berkaitan dengan pemenuhan
reformasi borjuis-demokratik mereka, juga berkaitan dengan membantu
revolusi sosialis di negeri-negeri lainnya – tidak dapat tercapai
kecuali kalau mereka mendukung hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut tugas paling sulit namun paling
penting adalah untuk menggabungkan perjuangan klas dari kaum buruh
bangsa-bangsa yang menindas dengan perjuangan klas dari kaum buruh
bangsa-bangsa yang tertindas.
Ketiga, negeri-negeri semi-kolonial seperti Cina, Persia, Turki dan
semua negeri-negeri jajahan, yang total populasinya berjumlah hingga
satu miliar. Di negeri-negeri tersebut, gerakan borjuis-demokratik entah
baru saja mulai atau jauh sekali dari selesai. Kaum sosialis bukan saja
harus menuntut kemerdekaan tanpa syarat dan segera untuk negeri-negeri
jajahan tanpa kompensasi – dan tuntutan ini dalam ekspresi politiknya
berarti, tidak kurang dan tidak lebih, pengakuan atas hak penentuan
nasib sendiri – tetapi juga harus memberikan dukungan tegas kepada
elemen-elemen yang lebih revolusioner dalam gerakan borjuis-demokratik
untuk pembebasan nasional di negeri-negeri tersebut dan membantu
pemberontakan mereka – jika perlu, perang revolusioner mereka – melawan
kekuatan-kekuatan imperialis yang menindas mereka.
7. Sosial-Sovinisme dan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Epos Imperialis dan perang tahun 1914-1916 [Perang Dunia Pertama]
terutama sekali telah membawa ke depan tugas melawan sovinisme dan
nasionalisme di negeri-negeri maju. Mengenai masalah hak sebuah bangsa
untuk menentukan nasib sendiri, ada dua macam pendapat di antara kaum
sosial-sovinis, yaitu kaum oportunis dan kaum Kautskyian, yang
memberikan hiasan pada perang imperialis yang reaksioner ini dengan
menyatakannya sebagai perang untuk “membela tanah air”.
Di satu sisi, ada para pelayan borjuasi yang membela aneksasi dengan
alasan bahwa konsentrasi politik dan imperialisme adalah sesuatu yang
progresif dan yang menolak hak penentuan nasib sendiri dengan alasan
bahwa hal itu adalah utopis, ilusi, borjuis kecil, dsb. Di antara mereka
adalah Cunow[5], Parvus[6] dan para oportunis ekstrim di Jerman, sebagian dari kaum Fabian[7] dan para pemimpin serikat buruh di Inggris, dan kaum oportunis, Semkovsky, Liebman, Yurkevich, dan yang lainnya di Rusia.
Di sisi yang lain, ada kaum Kautskyian, termasuk Vandervelde[8], Renaudel[9]
dan banyak kaum pasifis di Inggris, Perancis, dsb. Mereka mendukung
persatuan dengan orang-orang yang disebut sebelumnya, dan dalam praktek
tingkah laku mereka adalah sama, dimana mereka mendukung hak penentuan
nasib sendiri dengan cara yang sepenuhnya verbal dan munafik. Mereka
menganggap tuntutan untuk kebebasan pemisahan politik sebagai sesuatu
yang “berlebihan” (“zu viel verlangt” – Kautsky dalam Neue Zeit, 21 Mei
1915); mereka tidak mendukung perlunya taktik-taktik revolusioner,
terutama sekali untuk kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas,
tetapi, sebaliknya, mereka mengabaikan kewajiban revolusioner mereka,
mereka membenarkan oportunisme mereka, mereka mempermudah penipuan
terhadap rakyat, mereka justru menghindari masalah perbatasan sebuah
negeri yang dengan paksa mengekang bangsa-bangsa jajahan, dsb.
Kedua kelompok ini adalah kaum oportunis yang melacurkan Marxisme dan
telah kehilangan semua kapasitas untuk memahami makna teoritis dan
urgensi praktis dari taktik-taktik Marx, dimana dia telah memberikan
sebuah contoh terkait dengan Irlandia.
Masalah aneksasi telah menjadi sebuah masalah yang terutama mendesak
karena perang. Namun apa itu aneksasi! Jelas, untuk melakukan protes
terhadap aneksasi menyiratkan entah pengakuan atas hak sebuah bangsa
untuk menentukan nasib sendiri, atau bahwa protes tersebut berdasarkan
frase pasifis yang membela status quo dan menentang semua kekerasan
termasuk kekerasan revolusioner. Frase semacam ini sangatlah keliru, dan
tidak sesuai dengan Marxisme.
8. Tugas-tugas Kongkrit Proletariat ke Depan
Revolusi sosialis dapat saja mulai dalam waktu yang sangat dekat.
Pada momen tersebut kaum proletariat akan dihadapkan dengan tugas
mendesak untuk merebut kekuasaan, mengambil alih bank-bank dan melakukan
langkah-langkah diktaktorial lainnya. Dalam situasi semacam itu, kaum
borjuasi, dan terutama sekali para intelektual seperti kaum Fabian dan
kaum Kautskyian, akan berusaha untuk menghambat dan mengganggu revolusi,
untuk membatasinya pada tujuan-tujuan demokratik yang sempit. Sementara
semua tuntutan yang murni demokratik dapat saja – pada saat proletariat
telah mulai menyerbu benteng-benteng kekuasaan borjuasi – dalam makna
tertentu menjadi hambatan bagi revolusi, meskipun demikian, keharusan
untuk mewartakan dan memberikan kebebasan kepada semua bangsa-bangsa
tertindas (yaitu hak mereka untuk menentukan nasib sendiri) akan sama
mendesaknya dalam revolusi sosialis seperti juga mendesak bagi
kemenangan revolusi borjuis-demokratik, contohnya di Jerman 1848 atau di
Rusia pada 1905.
Namun, lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan lebih lama lagi bisa
belalu sebelum revolusi sosialis dimulai. Dalam hal itu, tugas kita
adalah untuk mendidik massa dalam semangat revolusioner agar membuat
mustahil bagi kaum sovinis dan oportunis Sosialis untuk berada dalam
partai buruh dan mencapai kemenangan serupa seperti tahun 1914-1916.
Menjadi tugas kaum Sosialis untuk menjelaskan kepada massa bahwa kaum
Sosialis Inggris yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri
bagi negeri-negeri jajahan dan bagi Irlandia; bahwa kaum Sosialis Jerman
yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri
jajahan, bagi rakyat Alsatian[10],
bagi Denmark dan bagi Polandia, dan yang gagal untuk menjalankan
propaganda revolusioner langsung serta aksi massa revolusioner ke dalam
medan perjuangan melawan penindasan nasional, yang gagal untuk
menggunakan kasus-kasus seperti insiden Zabern untuk melancarkan
propaganda bawah tanah yang luas di antara kaum proletariat dari bangsa
yang menindas, untuk mengorganisir demonstrasi jalanan dan aksi massa
revolusioner; bahwa kaum Sosialis Rusia yang gagal untuk menuntut
kebebasan untuk memisahkan diri bagi Finlandia, Polandia, Ukraina, dsb,
dsb – bertingkah laku seperti kaum sovinis, seperti antek-antek dari
kaum borjuasi imperialis dan monarki imperialis yang berlumuran darah
dan lumpur.
9. Sikap Sosial Demokrasi Rusia dan Polandia serta Internasional Kedua[11] terhadap Hak Penentuan Nasib Sendiri.
Perbedaan antara kaum Sosial Demokrat revolusioner Rusia dan Sosial
Demokrat Polandia mengenai masalah hak penentuan nasib sendiri muncul
sedini tahun 1903 di kongres yang mensahkan program Partai Buruh Sosial
Demokrat Rusia, dan yang, kendati protes dari delegasi Sosial Demokrat
Polandia, memasukkan program di poin 9, yang mengakui hak sebuah bangsa
untuk menentukan nasibnya sendiri. Sejak saat itu kaum Sosial Demokrat
Polandia, atas nama Partai mereka, tidak pernah mengulangi pengajuan
untuk menghilangkan poin 9 dari program kita atau untuk menggantikannya
dengan formulasi yang lainnya.
Di Rusia – dimana tidak kurang dari 57 persen, yakni lebih dari 100
juta populasi, berasal dari bangsa-bangsa yang tertindas, dimana
bangsa-bangsa tersebut terutama menempati provinsi-provinsi di
perbatasan, dimana beberapa dari bangsa-bangsa tersebut lebih berbudaya
ketimbang Rusia Raya, dimana sistem politik dibedakan oleh karakternya
yang sangat barbar dan abad-pertengahan, dimana revolusi
borjuis-demokratik belum dituntaskan – pengakuan hak sebuah bangsa yang
ditindas oleh tsarisme untuk bebas memisahkan diri dari Rusia adalah
sepenuhnya kewajiban bagi Sosial Demokrasi demi kepentingan tugas-tugas
demokratik dan sosialisnya. Partai Kita, yang didirikan ulang pada
Januari 1912, mensahkan resolusi pada 1913 yang menegaskan hak untuk
menentukan nasib sendiri dan menjelaskannya dalam makna yang kongkrit
seperti yang dijelaskan di atas. Kegilaan sovinisme Rusia-Raya
berkecamuk pada 1914-16 di antara kaum borjuasi dan kaum Sosialis
oportunis (Rubanovich[12], Plekhanov[13], Nashe Dyelo[14],
dsb) mendorong kita untuk menuntut lebih kuat ketimbang sebelumnya dan
untuk menyatakan bahwa mereka-mereka yang menolaknya melayani, dalam
praktek, benteng sovinisme dan tsarisme Rusia Raya. Partai kita
menyatakan bahwa kita dengan tegas menolak semua tanggung jawab atas
oposisi terhadap hak penentuan nasib sendiri.
Formulasi terakhir dari posisi Sosial Demokrasi Polandia terhadap
persoalan kebangsaan (deklarasi yang dibuat oleh Sosial Demokrasi
Polandia di Konferensi Zimmerwald[15]) mengandung ide-ide sebagai berikut:
Deklarasi ini mengutuk Jerman dan pemerintahan lainnya yang
menganggap “provinsi Polandia” sebagai sandera untuk permainan
kompensasi mendatang dan dengan demikian “merampas dari rakyat Polandia
hak untuk menentukan nasibnya sendiri.” Deklarasi ini menyatakan:
“Sosial Demokrasi Polandia secara tegas dan serius memprotes pemecahan
dan partisi terhadap sebuah negeri” … Sosial Demokrasi Polandia mengutuk
kaum Sosialis yang menyerahkan kepada Hohenzollern[16]
“tugas membebaskan bangsa-bangsa tertindas.” Sosial Demokrasi Polandia
mengekspresikan keyakinan bahwa hanya dengan partisipasi dalam
perjuangan kaum proletariat internasional revolusioner yang akan datang,
dan hanya dalam perjuangan untuk sosialisme, “rantai beban penindasan
nasional dapat dihancurkan dan menghapus semua bentuk dominasi asing,
dan memastikan untuk rakyat Polandia kemungkinan untuk berkembang secara
bebas dan menyeluruh sebagai anggota yang setara di dalam sebuah Liga
Bangsa-Bangsa.” Deklarasi ini juga mengakui bahwa perang yang sekarang
ada adalah “perang saudara ganda” “bagi rakyat Polandia.” (Bulletin of the International Socialist Committee, No. 2, 27 September 1915, hlm 15.)
Tidak ada perbedaan dalam substansi antara postulat-postulat di atas
dengan pengakuan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri
kecuali bahwa formulasi politik mereka masih terlalu kabur dan
samar-samar ketimbang mayoritas program dan resolusi dari Internasional
Kedua. Usaha apapun untuk mengekspresikan ide-ide tersebut dalam formula
politik yang tepat dan untuk menentukan apakah ide-ide ini berlaku
dalam sistem kapitalis atau hanya di dalam sistem sosialis akan semakin
jelas membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh kaum Sosial-Demokrat
Polandia dalam menyangkal hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri.
Keputusan Kongres Internasional Kedua yang diselenggarakan di London
pada 1896, yang mengakui hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, harus, di atas dasar postulat-postulat yang disebutkan di atas,
ditambahi dengan referensi pada: (1) urgensi yang terutama dari
tuntutan ini di bawah imperialisme; (2) sifat kondisional secara politik
dan isi klas dari semua tuntutan demokrasi politik, termasuk tuntutan
ini; (3) perlunya membedakan tugas-tugas konkrit dari kaum Sosial
Demokrat di bangsa-bangsa yang menindas dan di bangsa-bangsa yang
tertindas; (4) pengakuan hak penentuan nasib sendiri dari kaum oportunis
dan kaum Kautskyian yang tidak konsisten, sepenuhnya verbal, dan, oleh
karenanya, sejauh signifikansi politiknya, munafik; (5) kesamaan yang
sesungguhnya antara kaum sonivis dan kaum Sosial Demokrat, terutama
sekali kaum Sosial Demokrat dari Kekuatan-kekuatan Besar (Rusia Raya,
Anglo-Amerika, Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dsb) yang tidak
mendukung kebebasan untuk memisahkan diri bagi koloni-koloni dan
bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka sendiri”; (6) perlunya
mensubordinasi perjuangan untuk tuntutan ini, dan juga untuk semua
tuntutan demokrasi politik yang pokok, kepada perjuangan massa
revolusioner yang segera untuk menggulingkan pemerintahan borjuis dan
untuk mencapai sosialisme.
Untuk mencangkokkan kepada Internasional cara pandang beberapa
bangsa-bangsa kecil – terutama sekali cara pandang kaum Sosial Demokrat
Polandia yang dalam perjuangannya melawan borjuasi Polandia, yang menipu
rakyat dengan slogan-slogan nasionalis, disesatkan ke penolakan hak
menentukan nasib sendiri – akan merupakan kesalahan teoritis. Itu akan
menggantikan Marxisme dengan Prodhounisme dan, dalam praktek, akan
memberikan dukungan tidak-sengaja kepada sovinisme dan oportunisme yang
paling berbahaya dari bangsa-bangsa Besar.
Dewan Editorial Sotsial-Democrat, Organ Sentral dari P.B.S.D.R [Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia]
Postscript. Dalam Die Neue Zeit pada tanggal 3
Maret 1916, yang baru saja muncul, Kautsky secara terbuka mengulurkan
tangan rekonsiliasi Kristen kepada Austerlitz[17],
yakni seorang perwakilan sovinisme Jerman yang paling busuk, menolak
kebebasan untuk memisahkan diri bagi bangsa-bangsa yang tertindas di
Hapsburg Austria namun mengakuinya untuk Polandia Rusia, sebagai layanan
kecil untuk Hindenburg[18] dan Wilhelm II[19]. Tidak ada ekspose mengenai Kautskyisme yang lebih baik daripada ini!
Ditulis antara Januari-Februari 1916
Diterbitkan: pada April 1916 di majalah Vorbote No 2. Diterbitkan
juga dalam bahasa Rusia pada Oktober 1916 di Sbornik
Sotsial-Demokrata, No 1.
Penerjemah: Dipo Negoro (6 Juni 2013)
Penyunting: Ted Sprague
[1]
Alfred Dreyfys, seorang perwira Prancis, seorang Yahudi, yang pada 1894
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di pengadilan militer,
berdasarkan tuduhan fitnah bahwa dia melakukan spionase dan
pengkhianatan. Pengadilan yang provokatif dan penuh skandal ini
diorganisir oleh kaum reaksioner. Gerakan untuk mendukung Dreyfus
mengekspos adanya korupsi di pengadilan dan pemerintahan, dan menajamkan
pertentangan antara kaum republikan dan royalis. Pada 1889 Dreyfus
dimaafkan dan dibebaskan. Hanya pada 1906, setelah kasus ini diperiksa
kembali, Dreyfus lalu direhabilitasi.
[2]
Pada 1913, seorang perwira Jerman menggunakan kata yang kasar yang
menghina penduduk kota Saverne. Penduduk Saverne melakukan protes tetapi
ditindas secara kejam oleh tentara, dimana banyak orang ditangkap tanpa
alasan. Peristiwa ini lalu menyulut perdebatan besar di Jerman dan
krisis kepercayaan terhadap pemerintah Jerman.
[3]
Karl Kautsky (1854-1938) menyandang reputasi sebagai guru besar Marxis
Jerman. Lenin pun pada satu ketika menganggapnya sebagai gurunya. Akan
tetapi, dengan semakin dekatnya revolusi, semakin menjauh ia dari
Marxisme revolusioner. Sampai akhirnya dia menentang Revolusi Oktober
mati-matian dan menjadi salah satu kekuatan kontra-revolusioner. Lenin
dan Trotsky mengecam mantan guru mereka ini sebagai pengkhianat.
[4]
Kandang Augean merujuk pada mitos Herkules, dimana Herkules ditugasi
untuk membersihkan Kandang Augean yang penuh dengan kotoran ternak, yang
selama 30 tahun tidak pernah dibersihkan.
[5]
Heinrich Cunow (1862-1936) adalah seorang politisi dari Partai Sosial
Demokrat Jerman dn editor koran teori Partai Sosial Demokrat Jerman, Die
Neue Zeit, dari 1917 hingga 1923. Dia mendukung Perang Dunia Pertama
dan pecah dari Marxisme.
[6]
Alexander Parvus (1867-1924) adalah politisi Partai Sosial Demokrat
Jerman, yang juga aktif dalam gerakan revolusioner Rusia. Pada Revolusi
1905, dia terlibat dan ditangkap oleh polisi Rusia bersama dengan
Trotsky dan kaum revolusioner Rusia lainnya. Sebagai bagian dari sosial
demokrasi Jerman, dia mendukung Perang Dunia Pertama.
[7]
Fabian Society adalah sebuah gerakan sosialis intelektual di Inggris
yang tujuannya adalah mendorong prinsip sosial demokrasi melalui
cara-cara reformis dan bukan cara-cara revolusi. Kelompok ini dibentuk
pada tahun 1884. Sekarang kelompok ini adalah “think tank” untuk gerakan
New Labournya Tony Blair, sebuah gerakan sayap kanan di Partai Buruh
Inggris.
[8]
Emile Vandervelde (1866-1938) adalah seorang politisi dari Belgia dan
presiden Partai Buruh Belgia dari 1928-1938. Dia juga mengetuai
Internasional Kedua dari 1900-1918, dimana dia mendukung Perang Dunia
Pertama.
[9]
Pierre Renaudel (1871-1935) adalah politisi sosialis dari Prancis, dan
menjadi pemimpin nasional dari SFIO, yakni seksi Prancis dari
Internasional Kedua, yang hari ini adalah Partai Sosialis Prancis. Dia
adalah seorang reformis yang mendukung Perang Dunia Pertama.
[10]
Rakyat Alsatian adalah dari daerah Alsace, yakni wilayah Prancis yang
berbatasan dengan Jerman. Dari 1871-1918 daerah ini ada di bawah jajahan
Jerman.
[11]
Internasional Kedua dibentuk pada 1881 oleh partai-partai buruh Eropa.
Organisasi internasional ini mendasarkan dirinya pada gagasan Marxisme.
Akan tetapi dalam perjalanannya, banyak para pemimpin Internasional
Kedua mulai mengadopsi gagasan reformisme. Pada 1914, mayoritas seksi
Internasionale Kedua mendukung Perang Dunia Pertama, dan ini menandai
kehancuran organisasi tersebut.
[12]
Ilya Rubanovich (1859-1920) adalah seorang revolusioner Rusia yang
bergabung dengan kelompok Narodnik, yakni Narodnaya Volya, pada 1880an,
sebuah kelompok populis yang berhasil membunuh Tsar Alexander II. Dia
lalu bergabung dengan Partai Sosialis Revolusioner. Pada saat Perang
Dunia I, ia lalu mendukung perang ini sebagai perang untuk membela tanah
air. Dia juga lalu menentang Revolusi Oktober.
[13]
Georgi Plekhanov (1856-1918) adalah Bapak Marxisme Rusia. Dia adalah
salah satu pendiri organisasi Marxis pertama di Rusia: Kelompok
Emansipasi Buruh. Dianggap oleh Lenin sebagai gurunya, dia pada akhirnya
berseberangan dengan Lenin mengenai masalah Revolusi Rusia 1917, dan
menentang Revolusi Oktober.
[14] Nashe Dyelo adalah koran kaum reformis Rusia.
[15]
Konferensi Zimmerwald adalah konferensi internasional yang
diselenggarakan oleh kaum sosial-demokrat atau Marxis yang menentang
Perang Dunia, yang bertempat di Zimmerwald, Switzerland, pada 8
September 1915. Setelah mayoritas kaum sosial demokrat Internasional
Kedua memberikan dukungan mereka kepada negara mereka masing-masing
untuk meluncurkan Perang Dunia, kaum Marxis revolusioner yang menentang
perang pecah dari kaum sosial-demokrat reformis ini. Ikut dalam
konferensi ini antara lain adalah Lenin, Trotsky, Zinoviev, Radek, dan
Martov. Rosa Luxemburg walau tidak hadir juga mendukung kelompok
Zimmerwald.
[16]
Hohenzollern adalah adalah keluarga bangsawan yang memegang kekuasaan
di Prussia, Jerman, dan Rumania semenjak tahun 1100. Di Jerman dan
Prusia, tahta kerajaan mereka ditumbangkan oleh Revolusi Jerman 1918. Di
Romania, pada 1947 mereka ditumbangkan oleh gerakan Komunis.
[17] Friedrich Austerlitz (1862-1931) adalah seorang jurnalis dan politisi sosial demokrat Austria.
[18]
Paul von Hindenburg (1847-1934) adalah seorang Jendral dari Jerman di
dalam Perang Dunia Pertama dan lalu menjadi presiden Jerman dari tahun
1925-1934.
[19]
Wilhem II (1859 -1941) adalah Kaisar Jerman yang terakhir, yang
memerintah Kerajaan Jerman dan Prusia dari 1888 hingga 1918, dimana
kerajaan dia ditumbangkan oleh Revolusi Jerman.
http://militanindonesia.org
0 komentar:
Posting Komentar