Sistem Pendidikan Dalam Cengkraman (Kapitalisme)

Percuma saja ribuan lulusan yang dihasilkan perguruan tinggi, bila jutaan massa rakyat dibiarkan bodoh. Niscaya, lulusan – lulusan itu akan menjadi penindas baru bagi rakyatnya.
(Y.B Mangunwijaya/Romo Mangun)

Pendidikan pada dasarnya adalah membebaskan manusia dari kebodohan dan ketertindasan. Jika kita melihat pendidikan dalam arti secara nasional, pendidikan mempunyai makna bahwa “untuk mencerdaskan bangsa dan manusia yang mempunyai perspektif pembebasan”. Sejarah Yunani kuno mendiskripsikan pendidikan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan bukan hanya dari ruang kelas (kurikulum, jadwal, fasilitas) tetapi dari praktik realitas yang ada di (pasar, mimbar, pengadilan, buruh pabrik, dll) kemudian itu yang menjadi suatu ilmu. Dan kemudian fungsi guru itu sendiri hanya melahirkan kebenaran dalam diri setiap individu, bukan kebenaran yang dihadiahkan kepada murid/siswa.

Berbicara pendidikan hari ini, siapa yang tidak ingin mencapai impiannya dibangku pendidikan hingga setinggi – tinggi mungkin. Dari Sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi Negri maupun Swasta, dari yang tidak paham menjadi paham, hingga berujung dengan gelar yang disandang nantinya. Akan tetapi, bagaimana realitas pendidikan hari ini??? Dalam UUD’45 pasal “31 ayat 4” disebutkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara pendidikan nasional”. Jika kita melihat dan meniliti lebih lagi, fakta tersebut ternyata belum berjalan/terwujud! Alokasi anggaran untuk pendidikan pernah mencapai 14% dan hal tersebut masih mengalami pemangkasan oleh Menkeu pada tahun 2007. Yang terjadi justru adalah pendidikan dijadikan komoditi bagi sebagian orang untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan untuk mencetak tenaga kerja baru bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan.
 Berbicara pendidikan artinya adalah berbicara proses derajat. Kelas dalam bahasa dramatikalnya bukan ruang atau gedung melainkan suatu manfaat dan berbasiskan realitas masyarakat. Semua pengetahuan yang diberikan pendidikan hari ini tidak pernah disingkronkan dengan kondisi objektif masyarakat akan tetapi lebih kepada kepentingan pasar, yaitu sistem untung rugi yang diciptakan oleh pemodal. Dimana pendidikan menjadi mahal dan sulit untuk diakses oleh masyarakat Indonesia yang masih tergolong miskin. Maka hanya orang - orang yang berduit sajalah yang mendapatkan pendidikan tersebut.

Lalu bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang? Komponen yang digunakan sistem pendidikan hari ini adalah persolan kurikulum. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi ini hanyalah jawaban atas rendahnya kualitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Adapun pengertian standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar. Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan. Pendidikan hari ini direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem Kapitalisme (pemilik modal). Mata kuliah yang ada kemudian dipecah-pecah dan direduksi prosesnya menjadi lebih pragmatis dan yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Dari sejarah kemunculan kebijakan SKS, dapat kita lihat bahwa sistem tersebut untuk membendung sikap kritis mahasiswa. Pada era 1970an ketika terjadi demonstrasi besar besaran, dengan mengangkat isu korupsi dan penolakan terhadap Penanaman Modal Asing di Indonesia, yang mengakibatkan mahasiswa dikembalikan ke kampus masing – masing agar pola pikir kritis mahasiswa tersebut tidak merespon perkembangan situasi nasional. Akhirnya pemerintah menelurkan kebijakan yang memenjarakan kreatifitas dan daya kritis mahasiswa. Sistem tersebut ternyata berhasil membuat mahasiswa terelienasi dari kehidupan sosial rakyat. Mahasiswa tidak mempunyai waktu lagi memikirkan persoalan yang di hadapi oleh rakyat karena semakin ketatnya sistem perkulihan: SKS, DO, masa kuliah semakin pendek, tugas-tugas kuliah makin menumpuk (kejenuhan) dan sebagainya, kemudian terjadilah pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun. Untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Dan tentu saja ini lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa/i, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O atau pemutihan. kemudian mahasiswa/i tersebut dibentuk dengan tanpa mempunyai rasa kepedulian sosial seperti pasif, cuek, dan mementingkan diri sendiri.

            Satu hal yang dapat disingkronkan ketika berbicara pendidikan adalah dari yang tidak paham menjadi paham. Kemudian mengabdikan pandangannya tersebut kepada masyarakat berdasarkan kondisi objektif. Teori – teori yang didapat diperkuliahan tentunya harus digunakan untuk pembebasan manusia dari ketertindasan dan pembodohan melalui praktek dan pengalaman yang ada. Sebagai contoh, seorang dengan lulusan Ekonomi, seharusnya menjadi seorang ekonom kerakyatan, dengan tidak menindas rakyatnya dengan menaikkan harga BBM. seorang lulusan Hukum, agar dapat memberikan rakyat perlindungan hukum yang memang benar memperjuangkan hak – hak mereka ketika terjadi pelanggaran di ranah hukum. Lulusan Kedokteran, jadilah seorang Dokter yang berpihak pada orang yang sakit, bukan memahalkan biaya perobatan, dll.

Jika hari ini kepentingan Negara masih berlandaskan kepentingan pemodal, maka kepentingan pendidikan hari ini pun akan berlandaskan pemodal juga, dan sebaliknya. Bila amanat Negara mengatakan “pendidikan adalah hak – hak dari setiap orang dan dilindungi oleh undang – undang” maka fakta sekarang amanat Negara tersebut hanyalah menjadi sampah belaka! Pendidikan sejatinya bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, bukan juga formalitas yang penuh dengan kekosongan. Dan jika sistem pendidikan tidak pernah berubah, maka kurikulum tersebut akan melahirkan robot – robot penindas baru bagi sebagian orang yang tidak dapat mengenyam dunia pendidikan. Oleh karenanya, kita sebagai mahasiswa/i sedari dini perlu untuk meningkatkan kesadaran apa itu esensi pendidikan dan kemana tujuan dari pendidikan tersebut. Bersatu dan melakukan perlawanan terhadap sistem pendidikan hari ini yang telah merugikan kita adalah sebuah jalan sebelum nantinya kita dijadikan robot – robot penindas baru di Negri sendiri.

-Daniel Pay Halim-

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment