Tapi bagaimana bila kemudian politik didegradir pengertiannya, direduksi maknanya dari sebuah alat pembangun peradaban jadi hanya sekedar tempat jual beli barang. Politik menjadi sebuah sikap yang rendah bukan lagi pertarungan
Tertangkapnya Akil Mochtar membuat saya berpikir, ‘ada apa dengan
demokrasi kita?’ adakah yang salah. Bagaimanapun, dikotak katik seperti
apapun “Konstitusi adalah Nyawa kita bernegara” ini yang harus
digarisbawahi, bagaimana bisa sebuah ‘nyawa’ dipermainkan dan dihina
dengan duit sogokan dan hancurnya moralitas.
Bagi saya kasus Akil Mochtar seperti muara dari kasus yang bermula pada
kecurangan Pemilu secara massif di tahun 2009. Tidak mungkin kita
mengamati sebuah kerusakan yang tersistematis bila kita tidak
memperhatikan dimana kerusakan itu terjadi pada wilayah awalnya.
Sebelum kita masuk ke soal Akil Mochtar, mari kita analisa dulu apa yang
terjadi pada tahun 2009, kita dialektika-kan keadaan itu dengan kondisi
demokrasi kekinian kita yang rusak.
Politik transaksional saat ini sudah mengubah bentuk Partai, dari Partai
yang dibangun untuk belajar bermasyarakat menjadi Partai Politik yang
elektoral, fungsi Partai tereduksi hanya sekedar menjadi mesin
pemenangan pemilu. Hal ini karena pengaruh dari global reproduction of
American Politic. Melalui liberalisasi politik dan ekonomi pasca krisis
moneter tahun 1997. Partai Demokrat adalah contoh paling gamblang Partai
yang tidak dibangun dari idealisme, dari suatu keadaan berdarah-darah,
dari sebuah idealisme yang melawan penguasa, sebagai Partai yang
memberikan harapan, tapi Partai Demokrat hanyalah Partai yang
berorientasi pada suara, pada mesin coblosan, tidak ada yang namanya
‘kesejarahan kader dan sekolah kader’.
Uniknya ada yang aneh dalam Pemilu 2009 bahwa Partai Demokrat mengalami
kenaikan suara sampai 300% padahal sistem multipartai seperti di
Indonesia, dengan intensitas persaingan yang tinggi, sebenarnya TIDAK
MEMUNGKINKAN bagi Parpol seperti partai Demokrat untuk mengalami
kenaikan 300%.
Ada apa dengan ini?
Kemenangan Partai Demokrat 300% adalah buah dari bekerjanya “Politik
Menghalalkan Segala Cara”, yang dilaksanakan dengan strategi khusus,
yang dirasionalisasikan melalui politik citra dan bandwagon effect.
Dalil Tim SBY: kemenangan dapat diperoleh sejauh seluruh persyaratan
(rancangan pemenangan pemilu) terpenuhi, termasuk melakukan hal apapun
untuk menang.
Mereka memang menjalani apa itu ‘kelengkapan prosedural’ tapi tidak
mengindahkan apa yang disebut dengan etika. Ini sama dengan film ‘Wall
Street 2 (Money Never Sleeps) bahwa memang seluruh transaksi memenuhi
prosedur perdagangan di Pasar Modal, tapi apakah itu juga memenuhi etika
dalam bertarung secara fair? Inilah juga yang terjadi pada Penipuan
Pemilu Massif tahun 2009.
Sumber dana dalam kemenangan Politik 2009 mereka diarahkan pada struktur
“Manipulasi Psikologis” dimana manipulasi itu mengarah kepada beberapa
soal : Bandwagon effect, Politik Pencitraan, Intervensi Survey dan
yang terakhir adanya sembilan opsus. Ada beberapa model manipulasi yang
digunakan, seperti Manipulasi Kasar ala Afrika dan Manipulasi
pengelabuan alam pikir ala Amerika Serikat. Seperti Pemilu tanpa nomor
urut dan hitungan kompleks yang akibatnya mudah dimanipulasi ini adalah
Pemilu African Style.
Lalu ada juga Bandwagon Effect melalui pencitraan hasil survey (Prakondisi) dan pencitraan media secara massif.
Selain itu ada juga penggunaan instrumen negara seperti : Penyusupan
Agen Partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Polisi dan Tentara ini
adalah model Afrika.
Dan terakhir Manipulasi Pemilih (Operasi DPT) dan Manipulasi IT (Pembenar dari manipulasi pemilih).
Bandwagon Effect Dalam kasus Kemenangan Partai Demokrat Di Tahun 2009
BANDWAGON EFFECT, efek ikut ke pihak yang “dipersepsikan kuat”, atau
efek ikut-ikutan sebagai naluri perkawanan. Sebutan Bandwagon Effect
dimulai dalam tradisi kampanye Amerika Serikat yaitu pada tahun 1848
ketika Dan Rice, sirkus terkenal dan populer, menggunakan kereta musik
dalam kampanye politik.
Pada Tahun 1900 kampanye presiden William Jennings Bryan, bandwagons
telah menjadi standar dalam kampanye. Bandwagon dipergunakan untuk
menarik orang dan asal bergabung dan sukses tanpa mempertimbangkan
keterkaitan mereka.
Tahun 1980, NBC News mengumumkan hasil jajak pendapat perilaku pemilih
di belahan Timur Amerika Serikat, dimana Ronald Reagan menang di timur,
beberapa jam sebelum bilik suara di amerika bagian barat ditutup.
Bandwagon effect efektif bekerja di Amerika bagian Barat.
Selama pemilihan presiden AS 1992, Vicki G. Morwitz dan Carol Pluzinski
melakukan penelitian. Relawan bisnis diberi hasil jajak pendapat
nasional dan menunjukkan bahwa Bill Clinton memimpin. Mereka yang
memilih Bush berubah pikiran setelah melihat hasil jajak pendapat
tersebut.
Selain Bandwagon Effect, kemenangan Demokrat juga diperkuat oleh
struktur belanja iklan yang besar, nilainya paling raksasa dibandingkan
dengan Partai lain.
Berikut saya lampirkan data belanja iklan pada Pemilu 2009, menurut AC NIelsen :
Selama September-November 2008, belanja iklan partai politik:
Partai Demokrat : Rp 15,5 miliar/bulan.
Partai Gerindra : Rp 8 miliar/bulan
Partai Golkar : Rp. 5 miliar/bulan
PKS :Rp 2 miliar/bulan
PDI Perjuangan :Rp 1,5 miliar/bulan
Partai Gerindra : Rp 8 miliar/bulan
Partai Golkar : Rp. 5 miliar/bulan
PKS :Rp 2 miliar/bulan
PDI Perjuangan :Rp 1,5 miliar/bulan
Pengaruh Iklan di Televisi Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang saya catat sebagai berikut :
Tayangan iklan Pasangan dalam Pilpres di TV pada musim kampanye 2 Juni -4 Juli 2009:
⦁ SBY-Boediono: 1.700 spot dan diharapkan mampu mempengaruhi sekitar 95% penonton
⦁ Jusuf Kalla-Wiranto: Hampir 1000 spot dan mampu mempengaruhi hingga 92% penonton
⦁ Megawati-Prabowo: 189 spot dan mampu mempengaruhi hingga 78% penonton
⦁ Harga setiap spot iklan minimal Rp. 2 juta bahkan lebih disesuaikan dengan waktu penayangannya
⦁ Pengaruh televisi mencapai 91% persen dari seluruh masyarakat Indonesia
⦁ SBY-Boediono: 1.700 spot dan diharapkan mampu mempengaruhi sekitar 95% penonton
⦁ Jusuf Kalla-Wiranto: Hampir 1000 spot dan mampu mempengaruhi hingga 92% penonton
⦁ Megawati-Prabowo: 189 spot dan mampu mempengaruhi hingga 78% penonton
⦁ Harga setiap spot iklan minimal Rp. 2 juta bahkan lebih disesuaikan dengan waktu penayangannya
⦁ Pengaruh televisi mencapai 91% persen dari seluruh masyarakat Indonesia
(Sumber Komisi Penyiaran Indonesia/KPI)
Pengaruh Thaksin Dalam Rusaknya Demokrasi Kita
Menurut catatan Markus Meitzner Research yang bisa menyokong tentang
teori intervensi uang dalam demokrasi kita dengan menggunakan
metode-metode Thaksinomics :
Model dana tunai langsung ke pemilih, seperti yang dilakukan Thaksin,
merupakan jurus utama kemenangan PD. Ini menjadi paradigma baru
pemilih di Indonesia (motif dana melalui APBN).
Pada bulan Juni 2008, polling menunjukkan PD hanya 8.7% jauh dibawah PDI
Perjuangan sebesar 24.2% dan PG 19.7%. Pada saat bersamaan,
elektabilitas Megawati 5% di atas SBY. Bahkan beberapa survey lainnya
menunjukkan gap sebesar 10%.
Para analis politik saat itu sependapat, bahwa itu adalah akhir dari era
SBY karena rakyat lelah dengan kepemimpinan yang tidak memberikan
inspirasi.
(Markus Meitzner Research)
Catatan-catatan diatas saya amati sebagai bagian dari politik intervensi
uang SBY, yang kemudian merusak alam demokrasi kita, tulisan
selanjutnya akan saya gabungkan dengan bagaimana kemudian politik uang
mengeruk dana-dana APBD dalam strategi pemenangan Pemilu lewat Kebijakan
Publik.
Selanjutnya dalam bagian II, nanti saya akan paparkan pandangan saya soal strategi kebijakan publik yang merupakan selimut money politic yang dilakukan rezim penguasa untuk memenangkan Partai Demokrat dan Pencitraan SBY dalam mempengaruhi pilihan rakyat.
-Hasto Kristiyanto-
Wasekjend Partai PDI-Perjuangan
0 komentar:
Posting Komentar