Bangkrutnya Demokrasi Kita

Akar di dalam demokrasi sesungguhnya dibentuk oleh Partai, Partai adalah sekolah politik pertama bagi seorang kader dalam bermain politik, Partai adalah latihan dimana seseorang harus terampil berpolitik dan pada akhirnya politik adalah penyumbang terpenting peradaban sebuah bangsa.

Tapi bagaimana bila kemudian politik didegradir pengertiannya, direduksi maknanya dari sebuah alat pembangun peradaban jadi hanya sekedar tempat jual beli barang. Politik menjadi sebuah sikap yang rendah bukan lagi pertarungan
idealisme, gagasan dan narasi-narasi sejarah sebuah bangsa tapi politik direndahkan maknanya menjadi “Lu ada duit, Gue ada barang” inilah yang kemudian menjadi akar kebangkrutan politik Indonesia yang kemudian merambat menjadi sikap apolitis di segala lini, rakyat tidak mau lagi terlibat dalam soal-soal negara, rakyat hanya menjadi penonton pasif yang kesepian ditengah pembicaraan politik yang kerap tidak diterima oleh akal sehat.
Tertangkapnya Akil Mochtar membuat saya berpikir, ‘ada apa dengan demokrasi kita?’ adakah yang salah. Bagaimanapun, dikotak katik seperti apapun “Konstitusi adalah Nyawa kita bernegara” ini yang harus digarisbawahi, bagaimana bisa sebuah ‘nyawa’ dipermainkan dan dihina dengan duit sogokan dan hancurnya moralitas.
Bagi saya kasus Akil Mochtar seperti muara dari kasus yang bermula pada kecurangan Pemilu secara massif di tahun 2009.  Tidak mungkin kita mengamati sebuah kerusakan yang tersistematis bila kita tidak memperhatikan dimana kerusakan itu terjadi pada wilayah awalnya.
Sebelum kita masuk ke soal Akil Mochtar, mari kita analisa dulu apa yang terjadi pada tahun 2009, kita dialektika-kan keadaan itu dengan kondisi demokrasi kekinian kita yang rusak.
Politik transaksional saat ini sudah mengubah bentuk Partai, dari Partai yang dibangun untuk belajar bermasyarakat menjadi Partai Politik yang elektoral,  fungsi Partai tereduksi hanya sekedar menjadi mesin pemenangan pemilu. Hal ini karena pengaruh dari  global reproduction of American Politic. Melalui liberalisasi politik dan ekonomi pasca krisis moneter tahun 1997. Partai Demokrat adalah contoh paling gamblang Partai yang tidak dibangun dari idealisme, dari suatu keadaan berdarah-darah, dari sebuah idealisme yang melawan penguasa, sebagai Partai yang memberikan harapan, tapi Partai Demokrat hanyalah Partai yang berorientasi pada suara, pada mesin coblosan, tidak ada yang namanya ‘kesejarahan kader dan sekolah kader’.
Uniknya ada yang aneh dalam Pemilu 2009 bahwa Partai Demokrat mengalami kenaikan suara sampai 300% padahal sistem multipartai seperti di Indonesia, dengan intensitas persaingan yang tinggi, sebenarnya TIDAK MEMUNGKINKAN bagi Parpol seperti partai Demokrat untuk mengalami kenaikan 300%.
Ada apa dengan ini?
Kemenangan Partai Demokrat 300% adalah buah dari bekerjanya “Politik Menghalalkan Segala Cara”, yang dilaksanakan dengan strategi  khusus, yang dirasionalisasikan melalui politik citra dan bandwagon effect.
Dalil Tim SBY: kemenangan dapat diperoleh sejauh seluruh persyaratan (rancangan pemenangan pemilu) terpenuhi, termasuk melakukan hal apapun untuk menang.
Mereka memang menjalani apa itu ‘kelengkapan prosedural’ tapi tidak mengindahkan apa yang disebut dengan etika. Ini sama dengan film ‘Wall Street 2 (Money Never Sleeps) bahwa memang seluruh transaksi memenuhi prosedur perdagangan di Pasar Modal, tapi apakah itu juga memenuhi etika dalam bertarung secara fair?  Inilah juga yang terjadi pada Penipuan Pemilu Massif tahun 2009.
Sumber dana dalam kemenangan Politik 2009 mereka diarahkan pada struktur “Manipulasi Psikologis”  dimana manipulasi itu mengarah kepada beberapa soal :  Bandwagon effect, Politik Pencitraan, Intervensi Survey dan yang terakhir adanya sembilan opsus.  Ada beberapa model manipulasi yang digunakan, seperti Manipulasi Kasar ala Afrika dan Manipulasi pengelabuan alam pikir ala Amerika Serikat. Seperti Pemilu tanpa nomor urut dan hitungan kompleks yang akibatnya mudah dimanipulasi ini adalah Pemilu African Style.
Lalu ada juga Bandwagon Effect melalui pencitraan hasil survey (Prakondisi) dan pencitraan media secara massif.
Selain itu ada juga penggunaan instrumen negara seperti : Penyusupan Agen Partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Polisi dan Tentara ini adalah model Afrika.
Dan terakhir Manipulasi Pemilih (Operasi DPT) dan Manipulasi IT (Pembenar dari manipulasi pemilih).
Bandwagon Effect Dalam kasus Kemenangan Partai Demokrat Di Tahun 2009
BANDWAGON EFFECT, efek ikut ke pihak yang “dipersepsikan kuat”, atau efek ikut-ikutan sebagai naluri perkawanan. Sebutan Bandwagon Effect dimulai dalam tradisi kampanye Amerika Serikat yaitu pada tahun 1848 ketika Dan Rice, sirkus terkenal dan populer, menggunakan kereta musik dalam kampanye politik.

Pada Tahun 1900 kampanye presiden William Jennings Bryan, bandwagons telah menjadi standar dalam kampanye.  Bandwagon dipergunakan untuk menarik orang dan asal bergabung dan sukses tanpa mempertimbangkan  keterkaitan mereka.
Tahun 1980, NBC News mengumumkan hasil jajak pendapat perilaku pemilih di belahan Timur Amerika Serikat, dimana Ronald Reagan menang di timur, beberapa jam sebelum bilik suara di amerika bagian barat ditutup.  Bandwagon effect efektif bekerja di Amerika bagian Barat.
Selama pemilihan presiden AS 1992, Vicki G. Morwitz dan Carol Pluzinski melakukan penelitian. Relawan bisnis diberi hasil jajak pendapat nasional dan menunjukkan bahwa Bill Clinton memimpin. Mereka yang  memilih Bush berubah pikiran setelah melihat hasil jajak pendapat tersebut.
Selain Bandwagon Effect, kemenangan Demokrat juga diperkuat oleh struktur belanja iklan yang besar, nilainya paling raksasa dibandingkan dengan Partai lain.
Berikut saya lampirkan data belanja iklan pada Pemilu 2009, menurut AC NIelsen :
Selama September-November 2008, belanja iklan partai politik:

Partai Demokrat    : Rp 15,5 miliar/bulan.
Partai Gerindra       : Rp 8 miliar/bulan
Partai Golkar           :  Rp. 5 miliar/bulan
PKS                            :Rp 2 miliar/bulan
PDI Perjuangan       :Rp 1,5 miliar/bulan
Pengaruh Iklan di Televisi Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang saya catat sebagai berikut :
Tayangan iklan Pasangan dalam Pilpres  di TV pada musim kampanye 2 Juni -4 Juli 2009:
⦁    SBY-Boediono: 1.700 spot dan diharapkan mampu mempengaruhi sekitar 95% penonton
⦁    Jusuf Kalla-Wiranto: Hampir 1000 spot dan mampu mempengaruhi hingga 92% penonton
⦁    Megawati-Prabowo: 189 spot dan mampu mempengaruhi hingga 78% penonton
⦁    Harga setiap spot iklan minimal Rp. 2 juta bahkan lebih disesuaikan dengan waktu penayangannya
⦁    Pengaruh televisi mencapai 91% persen dari seluruh masyarakat Indonesia
(Sumber Komisi Penyiaran Indonesia/KPI)
Pengaruh Thaksin Dalam Rusaknya Demokrasi Kita
Menurut catatan Markus Meitzner Research yang bisa menyokong tentang teori intervensi uang dalam demokrasi kita dengan menggunakan metode-metode Thaksinomics :
Model  dana tunai langsung ke pemilih, seperti yang dilakukan Thaksin, merupakan  jurus utama kemenangan PD.  Ini menjadi paradigma baru pemilih di Indonesia (motif dana melalui APBN).
Pada bulan Juni 2008, polling menunjukkan PD hanya 8.7% jauh dibawah PDI Perjuangan sebesar 24.2% dan PG 19.7%.  Pada saat bersamaan,  elektabilitas Megawati  5% di atas  SBY. Bahkan beberapa survey lainnya menunjukkan gap sebesar 10%.
Para analis politik saat itu sependapat, bahwa itu adalah akhir dari era SBY karena rakyat lelah dengan kepemimpinan yang tidak memberikan inspirasi.
(Markus Meitzner Research)
Catatan-catatan diatas saya amati sebagai bagian dari politik intervensi uang SBY, yang kemudian merusak alam demokrasi kita, tulisan selanjutnya akan saya gabungkan dengan bagaimana kemudian politik uang mengeruk dana-dana APBD dalam strategi pemenangan Pemilu lewat Kebijakan Publik.
Selanjutnya dalam bagian II, nanti saya akan paparkan pandangan saya soal strategi kebijakan publik yang merupakan selimut money politic yang dilakukan rezim penguasa untuk memenangkan Partai Demokrat dan Pencitraan SBY dalam mempengaruhi pilihan rakyat.

-Hasto Kristiyanto-
Wasekjend Partai PDI-Perjuangan

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment

0 komentar: