Puisi Widji Tukul






Puisi Cicak Lawan Buaya (1) : Sajak Perlawanan Kaum Cicak
Sajak Perlawanan Kaum Cicak

karya Tulus Wijanarko

Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!




Puisi Cicak Lawan Buaya (2) : Negeri Para Bedebah
Negeri Para Bedebah

karya Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan
Dalam Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra) Saya Berjumpa Wiji Thukul
Untuk menghormati WS Rendra Kompas tidak saja memberikan porsi yang cukup besar untuk artikel seputar si Burung Merak ini tetapi juga menghilangkan tulisan TAJUK RENCANA (rubrik ‘keramat’ bagi sebuah media) pada hari Sabtu 8 Agustus 2009. Pada lajur kolom TAJUK RENCANA hari Sabtu itu diisi MENGENANG WS RENDRA dengan memuat 2 sajak pilihan harian Kompas yakni Sajak Orang Kepanasan dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.

Terlepas dari kekaguman saya pada Rendra dan pesan dari puisi ”Sajak Orang Kepanasan” yang sangat kuat menancap di benak. Ternyata puisi ini juga membuka jalan kembali untuk menjumpai Wiji Thukul. Sajak Orang Kepanasan ini segera mengingatkan saya pada puisi Wiji, Bunga dan Tembok, Sajak Suara dan Peringatan. (cat. saya tidak pernah mengenal bahkan berjumpa dengan Wiji, perjumpaan saya hanya melalui puisi-puisinya terutama pada kumpulan AKU INGIN JADI PELURU)

Bila Rendra bilang TIDAK, TIDAK dan TIDAK maka dalam Peringatan Wiji Thukul lantang meneriakkan ’maka hanya satu kata : LAWAN!

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu


Maka dalam Peringatan Wiji Thukul menuliskan pula pendasarannya....

bila rakyat tak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya da satu kata: lawan!


Dan sebelum sampai kepada klimaksnya TIDAK, TIDAK dan TIDAK Rendra dengan piawai membangun pukulan demi pukulan untuk menguatkan benturan atau kontradiksi antara si tertindas dan penindas atau antara siapa yang berlawan dan siapa musuh yang harus di lawan.

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu

Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu

Karena kami telantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan


fragmen ini mengingatkan saya pada puisi Wiji Bunga dan Tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

Wiji kemudian menuliskan dalam pusis Bunga dan Tembok ini klimaks dengan kesimpulan bahwa suara rakyat atau kekuatan rakyat pada akhirnya akan menghancurkan tembok TIRANI demikian pula Rendra dalam Sajak orang Kepanasan

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


Bila Wiji mengambil benih dan bunga sebagai metafora kekuatan rakyat (suara rakyat adalah suara tuhan) dan tembok untuk TIRANI, maka Rendra menjadikan arus kali sebagai metafora suara atau kekuatan rakyat dan batu tanpa hati untuk TIRANI

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan : engkau harus hancur

dalam keyakinan kami
di mana pun- tirani harus tumbang!

.......

Karena kami arus kali
Dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu


Catatan Kaki Tentang Posisi Seorang Seniman

Tentang sikap kesenimanan WS Rendra Kompas menuliskannya dalam artikel Hati Nurani Rendra Memilih Seni Yang Terlibat dengan memetik penggalan Sajak Sepasang Lisong (WS Rendra)

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan


Dalam Sajak Sepasang Lisong Rendra mempertanyakan apa artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan atau apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. Sebenarnya Sajak Sepasang Lisong juga mengkritik secara umum sikap kalangan terdidik atau intelek dan seniman adalah bagian dari itu.

.............sejenak petikan puisi Rendra ini mengingatkan saya pada pepetah tua dari Lao Tzu

Berjalanlah bersama rakyat
Tinggal bersama mereka
Belajar dari mereka
Cintailah mereka
Mulailah dengan apa yang mereka ketahui
Membangunlah dari apa yang mereka miliki

Tetapi pada akhirnya kembali lagi dan lagi saya bertemu Wiji Thukul dalam dimensi dan konteks yang sesungguhnya bersimpangan..

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum bayar SPP

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
Jika nasi harus dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada?

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
Kalau bisa kota lebih murah siapa yang salah?

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau ibu dijiret utang
Kalau tetangga dijiret utang?

Apa yang berharga dari pusiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah-tanah pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu membeli tanah?

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau orang sakit mati di rumah
Karena rumah sakit yang mahal?

Apa yang berharga dari puisiku
Yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan
Yang menjiret kami?

Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi memberi keplokan
Apa yang telah kuberikan
Apa yang telah kuberikan?

Dalam salah satu wawancara Wiji mengatakan ” Kalau ada acara sastra atau pentas teater konco-konco kerja (segala jenis buruh. Cat saya) kuajak nonton. Mereka selalu bingung, ndomblong dan bisu setelah nonton dram-drama berat macam Samuel Becket. Mereka jadi sulit diajak berdiskusi. Dari kejadian di atas saya lalu meramu cara tampil yang sekaligus mempengaruhi pola kebahasaan saya. Begitulah, akhirnya puisi-puisi saya mudah ditangkap siapa saja."

Wiji adalah representasi atau wajah kaum tertindas, kaum yang dimiskinkan, kaum yang dibodoh-bodohi, kelas paria itu, tetapi ia bangkit berlawan, perlawanan kaum paria yang sesungguh-sungguhnya. Ia lahir dari rahim kaum paria di negeri kaya raya ini.....

Berlawan melalui Puisi dan Organisasi...................

Itulah senjatanya menghadapi kokangan senjata TIRANI...... Bisa jadi ia dibungkam dan dibunuh, tapi ia tetap hidup dan menang. hanya ada satu kata : lawan!!! Tetap abadi. Menyejarah!!!

Selamat Jalan dan hormat saya Bung Rendra

Sampaikan hormat saya pula untuk (alm) Wiji Thukul

Dua Puisi Pablo Neruda - (terjemahan Saut Situmorang)
I.

Kita bahkan kehilangan senja ini

Kita bahkan kehilangan senja ini.
Tak ada yang melihat kita jalan bergandengan tangan
sementara malam yang biru ambruk ke dunia.

Kulihat dari jendelaku
pesta matahari tenggelam di puncak puncak pegunungan yang jauh.

Kadang sepotong matahari
terbakar seperti sebuah uang koin di antara tanganku.

Aku mengenangmu dengan jiwaku tergenggam
dalam kesedihanku yang sudah sangat kau tahu itu.

Di mana kau waktu itu?
Ada siapa lagi di situ?
Bilang apa dia?
Kenapa cinta mendatangiku tiba tiba
di saat aku sedih dan merasa kau betapa jauhnya?

Terjatuh buku yang biasanya dibaca setelah senja tiba
Dan mantelku tergulung seperti seekor anjing terluka di dekat kakiku.

Selalu, selalu kau mengabur lewat malam
menuju ke mana senja pergi menghapus patung patung.

-terjemahan Saut Situmorang 
Puisi WS Rendra Pilihan Lentera : Sajak Orang Kepanasan dan Sajak Sepasang Lisong
*lampiran 1 artikel Dalam Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra) Saya Berjumpa Wiji Thukul



Sajak Orang Kepanasan*

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu

Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu

Karena kami telantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
Universitas Indonesia, Salemba

1 Desember 1979


Sajak Sebatang Lisong


menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………
kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
Puisi Wiji Thukul Pilihan Lentera : Sajak Suara, Peringatan, Bunga dan Tembok
*lampiran 2 artikel Dalam Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra) Saya Berjumpa Wiji Thukul

Sajak Suara

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


Peringatan

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Berangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya da satu kata: lawan!


Bunga dan Tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan : engkau harus hancur

dalam keyakinan kami
di mana pun- tirani harus tumbang!

20 Oktober 2009, Perayaan Negeri untuk Sang Antek. Lawan!
“Songs of Protest” Menuju Sierra Maestra Kita

Dimana tanah tumbuh perlawanan “Sierra Maestra” kita, dimana “Kawan Itu” dalam jalan sunyi perlawanan ini.

Tegakkan lagi Batu Penjuru Menuju Kemenangan Sierra Maestra Kita ………….

Air mata itu membentuk sebuah anak sungai yang mengalir sepanjang sejarah kita, sebuah sungai yang menghanyutkan dinding kematian.

Sebagai sebuah anak sungai terus mengalir di bawah tanah

(Mook Ik-whan)

*Sierra Maestra adalah daerah perbukitan di Kuba yang menjadi pusat perlawanan gerilyawan pimpinan Fidel Castro dan Che Guevara yang akhirnya menumbangkan kekuasaan diktator militer dukungan Amerika Serikat, Batista, di tahun 1959.

Nyanyian buat Sierra Maestra

(Diterjemahkan Saut Situmorang dari buku "Song of Protest, Poems by Pablo Neruda", New York, 1976)

Sumber : http://www.facebook .com/note. php?note_ id=184368744697

Kalau biasanya keheningan yang diharapkan dari kita saat meninggalkan
tempat sanak saudara kita dikuburkan,
maka aku minta satu menit yang riuh rendah,
sekali ini saja suara seluruh Amerika,
hanya satu menit nyanyian riuh rendah
aku minta untuk menghormati Sierra Maestra.

Kawan Itu – Puisi Pablo Neruda (Penerima Nobel Sastra 1971) (2)
Kawan Itu

(Diterjemahkan Saut Situmorang dari buku "Song of Protest, Poems by Pablo Neruda", New York, 1976)

Kemudian Sandino memasuki hutan
dia tembakkan peluru peluru keramatnya
melawan para pelaut penyerbu
yang dilatih dan dibayar oleh New York:
bumi terbakar hangus, suara suara tembakan bergema di daunan:
orang Yankee itu tak menyangka apa yang akan terjadi:
dia berpakaian terlalu rapi untuk perang
sepatu dan senjatanya mengkilap
tapi segera dia mengerti
siapa Sandino dan Nicaragua:
kuburan buat para perampok berambut pirang:
di udara, pohon, jalan, air
pasukan gerilya Sandino di mana mana
bahkan di whiskey yang sedang dibuka,
mereka habisi dengan kematian kilat
para tentara Louisiana yang gagah perkasa itu
yang biasa menggantung mati orang orang Negro
dengan keberanian luar biasa:
duaribu laki laki berkerudung sibuk
mengurusi satu laki laki Negro, seutas tali dan sebuah pohon.
Segalanya berbeda di sini:
Sandino menyerang dan menunggu,
Sandino datang bersama malam,
dia adalah cahaya dari laut yang membunuh,
Sandino adalah menara penuh bendera,
Sandino adalah senapan penuh harapan.
Ini adalah pelajaran berbeda,
di West Point pelajaran dilakukan dengan bersih:
mereka tak pernah diajarkan di sekolah
bahwa siapa yang membunuh bisa juga dibunuh:
orang orang Amerika Serikat ini tidak pernah diajarkan
bahwa kita mencintai negeri tercinta kita yang sedih ini
dan kita akan mempertahankan bendera kita
yang dengan sakit dan cinta kita ciptakan.
Kalau mereka tidak mempelajari ini di Philadelphia
mereka mempelajarinya dengan darah di Nicaragua:
pemimpin rakyat menunggu di sana:
Augusto C. Sandino namanya.
Dan dalam nyanyian ini abadi namanya
penuh keagungan seperti sebuah ledakan tiba tiba
yang memberikan kita api dan cahaya
dalam melanjutkan perjuangannya.


SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment

0 komentar: