Bangsa Yang Gundah



Memasuki usia yang ke-66 tahun, banyak hal di negeri ini yang layak dijadikan bahan renungan.
Yang jelas negeri ini bukannya menjadi semakin maju dan makmur, malahan justru makin mundur! Kemunduran atau kemerosotan itu antara lain dapat dirasakan dengan hilangnya perasaan sebagai saudara sebangsa ditengah kewarganegaraan yang mulai hidup terkotak-kotak, kualitas kesehatan yang merosot, prestasi olahraga yang menurun, tiada pemimpin yang benar-benar memiliki arah, visi, dan mengutamakan kesejahteraaan warga negaranya.

Kini apa yang dapat dibanggakan dari Negara oleh bangsa ini? Pendidikan yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar pun ternyata terjebak dalam pola permasalahan yang sama, ketidakjelasan sistem kurikulum dan biaya yang mahal. Dibidang olahraga, di kawasan Asia Tenggara saja kita mulai keteteran mengejar Vietnam, dan ketinggalan dari Malaysia, Singapura & Thailand, belum lagi persoalan atlet di zaman millennium ini; “Saya (di)sekolah(kan) atau tidak?” Ini adalah contoh nyata betapa kita sulit menghadapi apa yang kita kenal sebagai fundamentalis pasar. Ada semacam semboyan yang dikumandangkan oleh mereka yang percaya kepada pasar bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri. Atas keadaan ini, sebagai warga negara kita harus dapat mengurus diri sendiri, dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya dapat mengubah kualitas hidup orang banyak. Lalu dimana peran pemerintah dan lembaga negara lainnya?

Melihat berbagai gejolak yang terjadi dimasyarakat menunjukkan tanda-tanda bangsa Indonesia sedang gundah. Kegundahan itu terkait dengan eksistensi bangsa-negara Indonesia, masa depan bangsa-negara Indonesia yang tidak menentu, serta kesadaran sebagai warga negara berikut dengan segala hak dan kewajibannya yang “macet” dan tidak berkembang. Muncul pertanyaan, mengapa banyak warga negara kini merasa “tidak memiliki” negeri ini? Banyak warga “terasing” dengan negerinya sendiri; terasing dengan pemimpinnya, terasing dengan negaranya. Saat yang menyadarkan mereka sebagai warga negara adalah ketika harus mengurus KTP. Mungkin ini terjadi karena adanya penilaian bahwa kenegarawan hanya dimiliki oleh para pemimpin negeri; Presiden, Menteri, Gubernur, dan lainnya. Inilah yang membuat “orang kecil” merasa tidak ikut memiliki negeri ini. Sementara yang dilabel sebagai negarawan justru “hidup sendiri-sendiri”, terkotak-kotak. Para pemimpin negeri ini yang seharusnya sebagai pengayom dan pelindung justru lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok. Partai-partai yang semula berjanji akan menjadi pengayom tidak memenuhi janjinya.

Jika masih berpikir tentang pentingnya melakukan kebajikan dan toleransi untuk menolong warga negara yang miskin dijalan tanpa adanya “kebesaran” kekuasaan Negara, dikhawatirkan tidak dapat menolong bangsa yang hampir terpuruk total ini. Karena apa pun yang dipikirkan mengenai kewarganegaraan, tentang demokrasi, kiranya harus dikembalikan ke masalah dasar, yaitu ketimpangan sosial. Orang miskin yang lapar tidak pernah dapat mengartikulasikan kelaparannya, seperti orang kaya merasakan hal yang sama. Namun bagaimana itu semua dapat terpenuhi jika krisis ekonomi tidak terselesaikan lebih dahulu? Tanpa menyelesaikan krisis ekonomi, apa pun retorika yang keluar dari pejabat negara hanyalah ekspresi kosong. Melihat hiruk-pikuk masalah yang melingkupi bangsa ini adakah jalan yang dapat ditempuh oleh bangsa yang gundah dengan dirinya sendiri? 

sumber: http://videlyaesmerella.blogspot.com/

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment

0 komentar: