A. LATAR BELAKANG
Pertanyaan tentang hakikat filsafat telah diajukan semenjak ribuan tahun yang silam dan sampai saat ini masih tetap dipertanyakan. Beragam jawaban telah diberikan sebagai usaha untuk menjelaskan apakah sesungguhnya filsafat itu, namun tidak pernah ada jawaban yang dapat memuaskan semua orang. Faktanya dalam kehidupan sosial masih banyak orang yang mengganggap filsafat merupakan sesuatu yang serba rahasia, mistis, supra-natural, dan aneh. Ada juga melihat filsafat sebagai percampuran antara astrologi, psikologi, dan teologi. Asumsi lainnya ialah bahwa filsafat merupakan ilmu yang paling istimewa karena ia merupakan induk dari segala ilmu. Alhasil, sebagian orang memahami filsafat hanya bisa dipelajari oleh orang-orang jenius atau mereka yang memiliki tingkat intelektual tinggi.
Pada sisi yang berbeda, ada orang yang memandang filsafat tidak penting untuk dipelajari.` Mereka menganggap filsafat hanyalah “omong kosong” yang tidak memiliki ruang kegunaan praksis. Bahkan, bagi mereka yang setengah-hati mengakuinya sebagai “ilmu”, mereka membayangkan filsafat sebagai sejenis ilmu yang “mengawang” tanpa sebuah pijakan nyata yang bisa dipertanggungjwabkan secara ilmiah.
Sebenarnya, beragam kekeliruan dan kesalahpahaman di atas menunjukkan ketidaktahuan atau pemahaman yang terfragmentasi tentang pengertian filsafat. Lebih lanjut, ketidaktahuan dan pengetahuan yang dangkal tersebut akan melahirkan penafsiran yang menyesatkan terhadap filsafat. Padahal jika filsafat ditelaah dengan serius dan mendalam, ia akan semakin digandrungi, semakin memikat, dan semakin menggugah sesorang untuk mengetahuinya. Oleh karena itu, untuk memahami hakikat filsafat kita harus menelaah dari pelbagai aspek dan dimensi, yakni: tinjauan etimologis yang menelaah filsafat dari asal usul katanya dan tinjauan terminologis yang mengkaji filsafat dari sudut pemakaian istilahnya, serta definisi yang diajukan oleh para filsuf itu sendiri.
Secara etimologis kata “filsafat” merupakan kata turunan dari “philosophia” dalam bahasa Yunani. Ia merupakan kata majemuk dari “philos” yang berarti cinta atau “philia” yang memiliki arti “persahabatan” atau “tertarik kepada” dan “sophos” yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan intelegensi. Singkatnya, “philosophia” ialah cinta kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan. Istilah “philosophia” telah di-indonesiakan menjadi “filsafat”, yang mempunyai ajektiva atau kata sifat “filsafati”, dan “filsuf” yang merupakan kata untuk menunjuk pada orangnya. Ada juga orang yang lebih menyukai sebutan “filosofi”, yang memiliki kata sifat “filosofis”, dan “filosof” untuk mengacu kepada orangnya
dari pengertian diatas dapat kita berasumsi bahwa keterikatan antara filsapat dengan pendidikan sangat erat, pendidikan sebagai sebuah alat untuk memahami alam dan semua isinya hanya akan terkabul ketika filsapat dijadikan sebgai pedoman didalamnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. apa hubungan filsafat dengan pendidikan?
2. bagaimana peranan filsafat dalam proses pendidikan?
A. KONPOTENSI GURU DALAM FILSAPAT
pendidikan muncul dan memulai sesuatu dengan adanya keinginan Manusia mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini.
Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal mula, eksistensi dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan kehidupan adalah landasan dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir. Berdasarkan Filsafat, pendidikan berkepentingan untuk membangun Filsafat hidup agar bisa dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dan untuk selanjutnya, kehidupan sehari-hari tersebut selalu dalam keteraturan. Jadi, terhadap pendidikan, Filsafat memberikan sumbangan berupa kesadaran menyeluruh tentang asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
Tanpa Filsafat, pendidikan tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak tahu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa pendidikan, Filsafat tetap berada di dalam dunia utopianya. Oleh karena itulah, sebagai seorang guru harus memahami dan mendalami filsafat khususnya Filsafat Pendidikan. Melalui Filsafat pendidikan guru memahami hakiki dari pada pendidikan itu, dan pendidikan dapat dikembangkan melalui falsafat ontolofi, epistimologi dan aksiologi.
Apa sebenarnya filosofi pendidikan dan bagaimana penerapannya serta apa dampak dari pendidikan. Itu harus diketahui oleh guru, karena pendidikan itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan bagi setiap manusia, termasuk guru di dalamnya. Pendidikan dalam arti sempit maupun luas, dan ini sudah kita uraikan pada Teroka terdahulu.
Guru sebagai seorang yang diharapkan mampu menjadi fasilitas bagi anak didiknya harus mampu mendekatkan kesadaran anak didiknya terhadap kesadaran akan pentingnya sebuah pendidikan dalam memahami kehidupan.
Jadi, sebagai seorang guru harus mempelajari filsafat pendidikan, karena dengan memahami dan memaknai filsafat itu, akan dapat memberikan wawasan dan pemikiran yang luas terhadap makna dari pendidikan itu sendiri.
B. KEPRIHATINAN TERHADAP GURU DALAM PENDIDIKAN
Seperti dalam penjelasan diawal bahwa seorang guru harus mampu mendekatkan kesadaran siswa terhadap pengetahuan tentang kehidipan dan isinya, dalam hal ini kesadarn haruslah dimaknai sebagai suatu proses yang terbentuk dalam diri seseorang sebagai hasil pengamatan atas apa yang terjadi diluar dar dirinya. oleh karena itu pesrta didik menurut beberapa filosof bukan menjadi obyek dalam pendidikan, melainkan mejadi subyek.
Dalam proses pendidikan utamanya dalam pendidikan formal masih sangat sering kita mendapati seorang guru menjadikan siswa sebagai obyek yang harus siap mendengarkan dan mengikuti apa yang dikatakan oleh guru, seakan akan bahwa siswa yang menjadi peserta didik adalah manusia yang tak punya pengetahuan dan guru sebagai satu-satunya sumber kebenaran. sehingga hasil dari pendidikan pun jauh dari tujuan pendidikan dalam kacamata filsapat yaitu memanusiakan manusia.
C. PRILAKU GURU DALAM PENDIDIKAN FORMAL
Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, kehadiran guru bagi peserta didik ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas tanpa membedakan siapa yang diterangi nya demikian pula terhadap peserta didik. Tetapi, dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok profesional. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didik.
Peran guru sebagai tenaga pendidik tidak hanya berhenti sebagai pemegang tonggak peradaban saja, melainkan juga sebagai rahim peradaban bagi kemajuan zaman. Karena dialah sosok yang berperan aktif dalam pentransferan ilmu dan pengetahuan bagi anak didiknya untuk dijadikan bekal yang sangat vital bagi dirinya kelak. Bahkan yang lebih penting disamping itu, mereka mampu mengembangkan dan memberdayakan manusia, untuk dicetak menjadi seorang yang berkarakter dan bermental baja, agar mereka tidak minder dalam meghadapi masalah dan dapat bersikap layaknya seorang ksatria.
Maka bagaimanapun juga peran seorang guru tidak dapat diremehkan di dalam bidang apapun, baik yang bersifat pendidikan maupun yang lainnya.Tetapi untuk mencari dan menjadi guru yang seperti itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan etos dan spirit perjuangan yang luar biasa. seorang guru sejati adalah mereka yang tidak memikirkan segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, kecuali muridnya. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang guru yang benar-benar patut dijadikan tauladan adalah mereka yang terfokus pada anak didiknya, demi tercapainya pencerahan. Karena bagaimanapun juga anak didik adalah cikal bakal maju mundurnya sebuah bangsa. Kemana bangsa ini akan diarahkan itu tergantung pada mereka.
D. ALTERNATIF DALAM PENGEMBANGAN PROSES PENDIDIKAN
pendidikan dalam filsafat bertujuan untuk menjadikan siswa sebagai manusia yang mengenal diri dan lingkungan dalam kehidupan, namun dalam proses pendidikan kita hari ini masih sering kita mendengar ketidak singkronan antara pengetahuan yang didapatkan dalam proses pendidikan formal dengan apa yang terjadi secara obyektif, dalam kondisi seperti ini tujuan awal pendidikan tidak akan tercapai secara makasimal.
salah satu instrument untuk menghindari kondisi diatas adalah: pertama dengan menjadikan peserta didik sebagai subyek terhadap diri dan lingkungannya, dalam hal ini pendidikan yang didapat oleh peserta didik tidak hanya berada dalam lingkungan sekolah/kampus tapi juga dalam lingkungannya, sehingga peserta didik tidak merasa terasing dari lingkungannya pada saat proses pendidikan.kedua guru sebgai fasilitator dalam proses pendidikan haruslah memiliki wawasan luas,sehingga pelatihan bagi seorang tenaga pengajar harus menjadi salah satu agenda utama dalam proses pengembangan pendidikan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Posisi filsapat dalam pendidikan haruslah bersinegis dengan peranan atau sumbangan filsapat terhadap pendidikan, oleh karena filsapat secara substansial adalah induk dari semua ilmu pengetahuan. filsapat pendidikan yang sering kita bahas dalam proses pembelajaran adalah sebahagian dari beberapa elemen dalam cakupan filsapat.
Filsapat menjadi sangat penting dalam proses pendidikan oleh karena filsapat adalah kerangka berpikir dalam menyingkap secaraobyektif berbagai persosalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan, dan hal ini sangatlah urgen dan menjadi prioritas bagi seorang guru/pendidik untuk diketahui, sehingga tercipta tujuan dari pendidikan.
B. SARAN
1. lewat membaca maka cakrawala berpikir akan terbuka dalam pengembangan wawasan.
2. gerak peradaban semakin hari semakin kompleks dengan berbagai macam bentuknya, ini menuntut kita untuk terus belajar secara teori dan juga dalam praktek.
0 komentar:
Posting Komentar