
Namun seketika lamunku buyar dan aku pun kembali. Marsinah, perempuan
kecil itu, lagi, memaki mandor yang suka kehilangan tangannya di pantat
Asri. Usep menyengir saja, tetapi tidak pernah luput pandang bencinya
pada Marsinah. Sebentar saja, dan kembali lagi aku ke lamunku. Kapan
makan siang?
Peluit berbunyi dan bersama ratusan lainnya aku langkahkan kaki ke
kantin. Di tengah gemuruh sendok dan piring, dan ramainya cakap tak
berujung, kembali lagi perempuan kecil itu menarik perhatianku.
“Kawan-kawan, hari ini tanggal 1 Mei. Tahu hari apa sekarang? Hari ini adalah harinya buruh!” ujar Marsinah dengan lantang.
“Tahu tidak besok lusa kita mau unjuk rasa?” tiba-tiba kawanku
memotongku. Aku tersenyum saja mengangguk, mencoba menyembunyikan semua
perasaanku, ketidaktahuanku, ketakutanku, dan keraguanku. Kembali aku
melihat ke arah Marsinah, apa dia tidak takut?
Jam 1 tiba dengan cepat sebelum aku mendapatkan jawabanku. Kami semua
kembali ke pos masing-masing. Kali ini lamunku tak lagi dapat
menyekapku. Terus aku melirik ke arah perempuan kecil itu. Entah apa
yang aku cari.
Sehari sebelum unjuk rasa, suasana tegang. Usep tak lagi usil dan tampak gelisah. Marsinah, aku tak melihatnya hari itu.
“Pak Yudi datang, Pak Yudi datang hari ini,” bisik kawan-kawan.
Orang-orang tampak hilir mudik keluar masuk kantor personalia. Semua
menunggu.
Akhirnya kabarpun tiba. “Negosiasi buntu. Kita mogok besok. Beritahu
yang lain, kawan-kawan shift I, II, dan III,” ujar seorang kawan.
Sementara kawan-kawan lain tampak semangat dan terbakar, ada sesuatu
yang berat mengganjal ketika aku mendengar kabar itu. Dadaku sesak.
Malam itu juga aku tidak bisa tidur.
Jam 8 pagi, aku lihat ratusan kawan-kawan sudah berkumpul di depan
pabrik. Tiba-tiba, semua yang mengganjal dan menyesakkan dadaku menguap
di tengah kawan-kawan yang berdiri melawan. Mataku mencari Marsinah,
seakan ingin mengatakan, aku tidak takut lagi.
Tak lama kemudian tentara datang dan mencoba membubarkan. “Komunis
kalian!” bentak mereka. Kata yang biasanya menakutkan itu tak lagi
terdengar seram. dan kamipun melawan, dorong-mendorong. Mataku masih
mencari, dan akhirnya kutemukan Marsinah di garis depan. “Besok kita
mogok lagi,” teriak Marsinah, disambut dengan sorak sorai.
Hari itu, aku merasa paling bebas. Seperti lahir kembali. Hari itu juga terakhir kali aku melihat perempuan kecil raksasa itu.
“Marsinah dibunuh, Marsinah dibunuh!” begitu berita itu memukul kami.
Rasa takut menghampiri kami semua. Geram, sedih, tetapi tak mampu
melawan. Hanya tenggelam dalam kerja yang dapat kami lakukan saat itu.
“Kamerad Ketua, sudah waktunya!” ujar Asri, kawan seperjuanganku 30 tahun terakhir ini. Aku terbangun dari lamunku.
“Baik, Asri. Aku segera ke sana.”
Hari ini adalah pukulan terakhir yang akan kami hantarkan ke jantung
kapitalisme. Kapitalisme telah jatuh di Prancis, di Inggris, dan di
Italia. Kamerad-kamerad kita telah menang di sana. Buruh Amerika
Serikat, yang dipimpin Partai Buruh, sedang melakukan mogok nasional
yang tajam dan berdarah-darah. Kelas kapitalis AS memobilisasi kekuatan
fasis untuk meremukkan gerakan buruh di sana. Dunia sedang bergejolak.
Di Asia pasifik, kapitalisme Indonesia ada di ujung tanduk. Militer
mencoba melakukan kudeta, tetapi kita pukul dengan pemogokan nasional.
Sekarang pemerintahan koalisi nasional yang lemah ini dapat tumbang
setiap saat, dan kami akan mendorongnya jatuh. Partai kami telah siap,
telah tertempa, untuk merebut kekuasaan. Puluhan juta buruh di setiap
kawasan industri sudah termobilisasi dan siap memberikan pukulan
terakhir.
Marsinah, kami tidak lagi takut.
Blogger Comment