Usia kemerdekaan negara kita bisa memang sudah 67 tahun. Namun, masih
banyak warga negara kita yang belum merengkuh arti kemerdekaan itu.
Hampir setiap hari kita mendengar jeritan rakyat kecil yang merasa tidak
kebagian buah kemerdekaan. Termasuk mayoritas kaum perempuan Indonesia.
Lantas, apa kemerdekaan itu? Professor Driyarkara mengatakan, merdeka
adalah kekuasan untuk menentukan diri sendiri untuk berbuat atau tidak
berbuat. Baginya, subjek yang merdeka harus punya kekuasaan untuk
menguasai diri sendiri dan perbuatannya. Tentu saja subjek merdeka itu
tak boleh menindas kemerdekaan subjek lain.
Bung Hatta juga pernah mengingatkan, bahwa kemerdekaan kita bukan
hanya merdekanya sebuah bangsa dari penjajahan, tetapi juga merdekanya
setiap individu warga negara dari segala macam penindasan dan
penghisapan. Artinya, jika Indonesia benar-benar sudah merdeka, maka
secara pribadi rakyat-nya pun harus terbebas dari berbagai macam
eksploitasi dan penghisapan.
Pertanyaannya: sudahkah kaum perempuan Indonesia menikmati kemerdekaannya? Jelas belum sama sekali. Pertama,
perempuan Indonesia belum punya kemerdekaan penuh atas tubuhnya
sendiri. Buktinya, sampai sekarang ini tubuh perempuan masih menjadi
objek eksploitasi dan sasaran kekerasan.
Menurut laporan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 1998-2011, terjadi
93.960 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia. Sebanyak
4.845 kasus diantaranya adalah pemerkosaan; perdagangan perempuan untuk
tujuan seksual sebanyak 1.359 kasus; pelecehan seksual 1.049 kasus; dan
penyiksaan seksual sebanyak 672 kasus.
Kekerasan seksual terhadap perempuan menandai masih kuatnya budaya
patriarkal dalam masyarakat kita. Budaya ini menganggap tubuh perempuan
tak lebih sebagai alat pemuas bagi superioritas laki-laki. Ironisnya,
media massa juga tak lepas dari budaya patriarkal ini. Buktinya, tak
sedikit media massa yang menggunakan kata “menggagahi” untuk kasus pemerkosaan.
Selain itu, kapitalisme juga hanya memandang tubuh perempuan sebagai
objek eksploitasi seksual guna mendatangkan profit (keuntungan).
Lihatlah, betapa korporasi menjual tubuh perempuan melalalui iklan
dengan harapan memicu nafsu konsumerisme yang bercampur dengan “syahwat”.
Demi mengejar keuntungan, kapitalisme mempertontonkan/memperdagangkan
tubuh perempuan layaknya komoditi di industri seksual/pornografi,
industri mode/fashion, industri hiburan (film, sinetron, musik, dll).
Kedua, perempuan Indonesia belum punya kemerdekaan penuh
dalam memasyarakat atau mengaktualkan dirinya sebagai bagian dari warga
sebuah bangsa. Dalam konteks ini, perempuan belum bebas untuk tampil
dalam kehidupan sosial, politik, pekerjaan, dan lain-lain.
Dalam wilayah sosial, masih sering muncul cap negatif terhadap
perempuan yang keluar rumah di malam hari. Tak hanya itu, di dalam
masyarakat kita, keterlibatan perempuan dalam pertemuan-pertemuan warga
juga masih sangat kecil. Kalaupun perempuan dilibatkan, biasanya mereka
ditempatkan di wilayah dapur dan urusan logistik.
Rintangan untuk kemerdekaan perempuan tampil dalam wilayah sosial
juga nampak pada lahirnya berbagai Perda yang sangat diskriminatif
terhadap perempuan. Catatan Komnas Perempuan menyebutkan, hingga akhir
2010 lalu, terdapat 189 perda yang sangat diskriminatif terhadap
perempuan.
Dalam wilayah politik juga seperti itu. Jumlah perempuan Indonesia di parlemen baru berkisar 18 persen. Artinya, strategi affirmative action
melalui kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan dalam pencaleg-kan
dan kepengurusan partai tidak begitu efektif. Penyebabnya, sistem
politik Indonesia memang masih sangat patriarkal.
Dalam hal pekerjaan, Organisasi Perburuhan International atau International Labour Organization
(ILO) menyatakan, perempuan Indonesia masih sering mengalami perlakuan
diskriminatif dalam mendapatkan pekerjaan dan ketika sudah bekerja.
Sebagin besar pekerja perempuan Indonesia bekerja sebagai pekerja
rumahan atau pembantu rumah tangga serta pekerja di usaha mikro kecil
dan menengah (UMKM). Diskriminasi juga terjadi dalam hal pekerjaan dan
upah. Sebuah data menyebutkan, ada 12,44 persen pekerja perempuan yang
berpenghasilan Rp 200,000 ke bawah per bulan. Sedangkan jumlah pekerja
laki-laki yang berpendapatan serupa hanya berkisar 4,39 persen.
Ketiga, perempuan Indonesia tidak bebas membangun atau mengembangkan
kapasitas dirinya sebagai manusia. Penyebabnya, karena rintangan
ekonomi-politik, perempuan Indonesia kesulitan mengakses pendidikan,
kesehatan, pangan, perumahan dan lain-lain.
Data Kemendikud RI menyebutkan, hingga 2010 jumlah perempuan
Indonesia yang belum melek huruf mencapai 5 juta lebih. Data lain
menyebutkan, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit pula
partisipasi perempuan: SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan
Universitas (3,02 persen).
Neoliberalisme punya kontribusi besar dalam merintangi perempuan,
juga warga bangsa yan lain, dalam mendapatkan pendidikan, kesehatan,
pangan, perumahan, air bersih, dan lain sebagainya. Sebab,
neoliberalisme mengubah semua kebutuhan dasar itu menjadi komoditi.
Emansipasi sebuah bangsa tak seharusnya tidak terpisah dari
emansipasi seluruh warga negara, termasuk perempuan. Pembebasan nasional
tidak ada gunanya jika tidak disertai pembebasan perempuan. Bung Karno
sendiri pernah bilang, “proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan hanya
untuk mempunyai negara belaka, melainkan sebagai pijakan perjuangan
sosial untuk menyelenggarakan sebuah pergaulan hidup yang didalamnya
tidak ada lagi penghisapan dan penindasan”. Termasuk tidak ada lagi
penindasan terhadap kaum perempuan.
Blogger Comment