Pancasila, Bung Karno-isme, dan Sosialisme
Di awal gerakan menentang Orde Baru dan kapitalisme, hampir semua
aktivis Kiri alergi dengan Pancasila dan akan sulit sekali kita temui
orang Kiri yang menggunakan Pancasila sebagai atribut ataupun slogan
agitasi propaganda mereka. Ini sebagian besar karena rejim Orde Baru
menggunakan Pancasila sebagai pembenaran kediktaturan mereka, dan kaum
muda yang revolusioner tidak menemukan sama sekali daya pikat di dalam
Pancasila. Pancasila dilihat sebagai lambang kediktaturan yang
berlumuran darah, dan sama sekali tidak ada nilai inspirasi
perjuangannya. Kaum muda Indonesia menemukan inspirasi mereka dari luar
Pancasila, sebagian dari nilai-nilai demokratis liberal, sebagian lagi
yang lebih radikal dari sejarah perjuangan komunis (PKI) di Indonesia.
PRD dan simpatisan-simpatisan mereka masuk ke kategori yang kedua ini.
Oleh karenanya ketika PRD akhirnya memutuskan menggunakan Pancasila
sebagai atribut agitasi dan propaganda mereka, ada reaksi dari dalam
gerakan yang menuding mereka telah meninggalkan cita-cita sosialisme
sejati. Ini terutama diperparah dengan manuver mereka sebelumnya:
beraliansi dengan PBR pada pemilu 2009.
Perubahan orientasi PRD – dan juga sejumlah elemen lain di dalam
gerakan – ke Pancasila dan Bung Karno-isme (Marhaenisme) membawa
pergulatan-pergulatan ideologi, strategi, taktik, dan organisasi yang
penting di dalam gerakan. Apakah perubahan orientasi ini bentuk dari
oportunisme? Atau justru mereka yang tidak melakukan ini justru jatuh ke
dalam ultrakiri-isme dan tidak memahami karakter bangsa Indonesia?
Sampai mana kita kaum revolusioner bisa menggunakan Pancasila dan Bung
Karno-isme untuk mencapai sosialisme? Apa memang kita bisa menggunakan
Pancasila sebagai jembatan untuk mencapai sosialisme?
Dalam risalah yang singkat ini, saya akan berargumen bahwa Pancasila
tidak bisa digunakan sebagai jembatan untuk menuju sosialisme, bahwa
Bung Karno-isme atau Marhaenisme bukanlah Sosialisme atau Marxisme ala
Indonesia.
Pancasila lahir dari revolusi nasional Indonesia, yakni perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Lebih tepatnya revolusi itu adalah revolusi
borjuis demokratik. Revolusi borjuis demokratik adalah suatu revo-lusi
yang tujuan utamanya adalah pembentukan negara bangsa yang mandiri dan
demokratis. Di Eropa, Revolusi Prancis 1789 adalah satu contoh revolusi
borjuis demokratik pa-ling megah di muka bumi. Revolusi ini
menghancurkan feodalisme dan menegakkan Republik Prancis yang
demokratik. Gagasan-gagasan dari Revolusi Prancis sejak itu telah
menjadi ilham bagi semua pejuang demokrasi.
Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai revolusi borjuis
demokratik, yang dari sejarah Revolusi Prancis bisa disarikan menjadi Liberté, égalité, et fraternité
(Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan). Kebebasan, yakni merdeka
dari penjajahan dan segala bentuk penindasan manusia atas manusia.
Kesetaraan, yakni keadilan sosial, kesetaraan di mata hukum, dan
kesetaraan hak. Persaudaraan, yakni persatuan di antara semua rakyat.
Semua sila dalam Pancasila, kecuali sila pertama, mengandung nilai-nilai
ini.
Namun sejarah telah membuktikan, bahwa pada akhirnya, Kebebasan,
Kesetaraan, dan Persaudaraan yang dielu-elukan oleh revolusi borjuis ini
hanyalah untuk kaum borjuis penguasa saja. Untuk kaum buruh dan tani,
Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan ini tidak berlaku sama sekali.
Di sinilah letak ke-terbatasan Pancasila. Ini bukan karena tidak ada
penghayatan dan pelaksanaan Pancasila yang sejati, dan kalau saja semua
orang mengamalkan Pancasila (atau nilai-nilai Kebebasan, Kesetaraan, dan
Persaudaraan) maka semuanya akan menjadi yang terbaik dari yang
terbaik. Tetapi ini karena karakter dasar dari Pancasila itu sendiri,
yakni yang lahir dari revolusi borjuis demokratik. Ia tidak bisa menjadi
jembatan menuju sosialis-me, menuju masyarakat tanpa kelas, karena
Pancasila sendiri tidak mengandung perspektif kelas.
Sementara, Bung Karno-isme atau Marhaenisme – yang sering dianggap
oleh sejumlah kaum Kiri sebagai Marxismenya Indonesia – pada dasarnya
hanyalah sebuah gagasan populisme yang mengambil irisan-irisan dari
Marxisme. Tidak sedikit pemimpin-pemimpin radikal pada jamannya Soekarno
yang menggunakan retorika-retorika Marxisme dan Sosialisme karena
gagasan-gagasan tersebut sangat kuat pengaruhnya di antara massa rakyat
tertindas yang sedang bergerak melawan. Pemikiran-pemikiran radikal Bung
Karno mene-mukan gaungnya di antara massa rakyat yang luas pada tahun
1950an dan 1960an karena saat itu masyarakat Indonesia sedang memasuki
tahapan revolusioner. Pemikiran Bung Karno adalah gagasan yang ada di
antara reformisme dan Marxisme revolusioner, dan ini sesuai dengan mood
massa yang sedang meletup-letup. PKI saat itu justru mengekor Soekano
dan tidak memberikan kepemimpinan yang mandiri untuk massa yang sedang
bergerak cepat ke arah gagasan Marxisme. Kegagalan PKI ini adalah topik
tersendiri yang membutuhkan artikel berbeda.
Kalau kita cermati Marhaenisme, jelas bahwa ia tidak mengandung tiga
program pokok untuk mewujudkan sosialisme: penghapusan kepemilikan
pribadi atas alat-alat produksi, perencanaan ekonomi yang terpusat dan
demokratis, dan penghancuran negara borjuis – beserta
aparatus-aparatusnya, termasuk kesatuan angkatan bersenjata – yang
digantikan dengan sistem pemerintahan buruh yang baru dan yang
berdasarkan kediktaturan proletar. Dan tentunya, aktor utama dari
perwujudan sosialisme ini adalah kelas buruh dengan partai pelopornya.
Kendati pidato-pidato dan tulisan-tulisan radikal dari Bung Karno, yang
kalau dibaca dan didengar tampak 99% benar, namun dalam hal 1% yang di
atas tersebut -- satu persen yang menentukan ini -- ia mengalami
kekurangan. Inilah mengapa dengan begitu mudah gagasan Bung Karno-isme
hancur berkeping-keping ketika dihantam kekuatan konter-revolusi.
Kendati Bung Karno berbicara mengenai sosialisme, kepemilikan
kolektif, dan berbagai hal yang radikal, ia menunda sosialisme ini
dengan dalih bahwa Indonesia harus terlebih dahulu menyelesaikan
revolusi nasional demokratik. Dalam kata lain, Indonesia harus terlebih
dahulu menjadi sebuah negara kapitalis yang mandiri, bebas sepenuhnya
dari feodalisme dan imperialisme, seperti negara-negara kapitalis Eropa
lainnya. Oleh karenanya perjuangan kelas dile-takkan di bawah perjuangan
nasional. Kaum kapitalis nasional yang katanya “progresif” harus
menjadi kawan dalam melawan feodalisme dan imperialisme, yang lalu
mereka bisa menjadi kapitalis mandiri dan jaya seperti
kapitalis-kapitalis Eropa dan memakmurkan negara. Setelah Indonesia
menjadi negara kapitalis yang makmur dan maju, barulah tahapan revolusi
sosialis bisa dilaksanakan. Patut dipertanyakan, ketika Soekar-no
dilengserkan, dimana para kawan kapitalis nasional “progresif” ini?
Mereka berbaris rapi di belakang Letnan Jendral Soeharto.
Yang gagal dipahami oleh Bung Karno adalah bahwa tugas-tugas
revo-lusi nasional demokratik -- penghancuran feodalisme dan
imperialisme -- tidak bisa lagi menjadi tugas tersendiri yang
terpisahkan dari revolusi sosialis, bahwa hanya perjuangan kelas yang
bisa menuntaskan revolusi nasional demokratik. Juga bahwa tidak ada lagi
yang namanya kelas kapitalis nasional yang “progresif”, dan oleh
karenanya peran kepemimpinan revolusi jatuh di tangan kaum buruh yang
beraliansi dengan tani. Ketika kaum buruh melangkah untuk menyelesaikan
revolusi demokratik, ia terdorong juga untuk melangkah ke revolusi
sosialis. Ini karena bahkan tugas revolusi demokratik yang paling
dasarpun -- menyediakan sandang, pangan, papan yang layak untuk rakyat
luas -- sudah tidak mungkin lagi terpenuhi di bawah kapitalisme. Hanya
nasionalisasi perekonomian dan sistem ekonomi terencana terpusat dan
demokratis yang bisa memakmurkan rakyat. Dan untuk melakukan ini, hanya
kekuasaan buruh yang mutlak yang bisa melaksanakan ini dengan konsisten
dan tegas.
Dari tahun 50an sampai 1965, Indonesia terombang-ambing di dalam
pusaran revolusi tanpa bisa menuntaskannya karena gagasan Bung Karno
menolak sosialisme sebagai tujuan yang segera. Revolusi bukanlah sesuatu
yang bisa diperpanjang sesuka hati. Pada akhirnya harus ada satu
pemenang. Kekuatan-kekuatan konter-revolusioner akhirnya menghantarkan
pukulan maut mereka, dan mereka tahu siapa lawan utama mereka: kelas
buruh dan partai mereka, Partai Komunis Indonesia. Gerakan buruh dibabat
sampai ke akar-akarnya. Kekuatan-kekuatan konter-revolusioner mengenali
perjuangan kelas, sementara Bung Karno dan PKI justru berusaha setengah
mati menyangkal perjuangan kelas dan menolak melikuidasi kapitalisme.
Inilah mengapa Pancasila dan Bung Karno-isme tidak bisa digunakan
sebagai jembatan menuju sosialisme. Masa depan sosialisme di Indonesia
tidak bisa dibangun di atas gagasan yang keliru. Sosialisme membutuhkan
gagasan yang dalam totalitasnya konsisten dan tepat.
Gagasan Marxisme memang harus disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia. Kita gunakan metode materialisme dialektika untuk melahirkan
perspektif revolusi Indonesia. Untuk bisa melahirkan Marxisme “ala
Indonesia”, maka tugas kaum muda adalah kembali lagi ke gagasan-gagasan
dasar Marxisme: yakni membaca karya-karya Marx, Engels, Lenin, dan
Trotsky. Kaum muda revolusioner hari ini harus memahami filsafat
Marxisme dengan mendalam dan mendasar agar mereka lantas bisa memahami
tugas revolusi Indonesia hari ini. Sejarah pemikiran para pejuang
kemerdekaan seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan yang lainnya harus kita
pelajari dengan tekun juga, tetapi bukan dengan mengulang apa yang telah
menjadi kekeliruan. Hari ini kita telah dilengkapi dengan banyak hal
yang tidak dimiliki oleh gene-rasi sebelumnya: yakni sejarah. Bukan
hanya sejarah perjuangan proletar Indonesia yang hampir berumur 100
tahun, tetapi juga sejarah perjuangan proletar dunia. Dengan ini kita
semakin yakin akan kemenangan kita dan semakin teguh dalam perjuangan
kita untuk menuju kemerdekaan kaum buruh dari belenggu kapitalisme.
Ditulis oleh Ted Sprague |
Sabtu, 30 Juni 2012 00:00 |
http://www.militanindonesia.org
Blogger Comment