Aku bukan seorang Chavista.
Tapi wafatnya Hugo Chavez, presiden Venezuela, 4 Maret 2013,
membuatku merasa sangat terpukul. Seperti kata Bung Karno kepada PKI
dalam Kongres VII tahun 1959: Yo sanak, yo kadang, malah yen mati aku
sing kelangan.
Ya, aku merasa kehilangan. Sangat kehilangan. Bukan karena ia saudara sekandung atau kaum kerabatku. Bukan. Aku
tidak mengenalnya secara pribadi. Ia juga tidak pernah mengenalku.Ya,
aku, seorang jelata yang tinggal di suatu negeri semi-jajahan yang
revolusi kemerdekaannya dikhianati oleh burjuasinya yang berwatak
komprador, pencoleng birokratik, dan gurita oligarkis. Ya, kami tidak
saling mengenal.
Aku merasa kehilangan. Sangat kehilangan.
Bukan karena ia seorang “saudara seiman.” Kami memang menganut agama
yang sama. Kami mengaku bertuhan yang sama. Tapi bukan kesamaan formal
itu yang mempertautkan hatiku kepadanya. Tapi corak pemaknaannya akan
Junjungan kami, itulah yang mempertautkan hatiku kepadanya. “Yesus
Kristus Sang Pembebas” – sebagaimana ia menyebutnya. Itulah Junjungannya
– Junjunganku pula. Yesus Kristus yang memilih untuk mengutamakan kaum
yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan, itulah yang Panutannya –
Panutanku juga. Kekristenan Liberatif, itulah yang mempertautkan hatiku
kepadanya. Jiwa dan semangat Yesus Kristus Sang Pembebas, itulah ikatan
emosionalku dengannya.
Aku merasa kehilangan. Sangat kehilangan.
Karena dialah – tanpa disadarinya – yang menumbuhkan suatu asa di
dalam hatiku bahwa dunia yang lebih baik bukan sesuatu yang muskil.
Sejarah belum berakhir. Dunia yang digembar-gemborkan tanpa alternatif
oleh kaum imperialis adalah dunia yang diciptakan menurut gambar dan
rupa kapitalisme – suatu dunia yang akan berakhir dalam barbarisme. Tapi
syukurlah ada alternatif bagi dunia macam itu. Dunia yang
berjiwasemangatkan kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang
bersendikan demokrasi yang sepenuh-penuhnya. Bukan demokrasi liberal,
yang tak lain dari demokrasinya burjuasi – yang memberikan pembenaran
ideologis dan legal bagi dunia tanpa alternatif yang semakin deras
meluncur ke dalam barbarisme. Bukan demokrasi liberal, Kawan! Tapi
demokrasi partisipatoris, demokrasi rakyat pekerja. Suatu demokrasi di
mana rakyat pekerja berdaulat penuh secara politik dan ekonomi. Ia coba
buktikan melalui kebangkitan rakyat pekerja di negerinya. Revolusi
Bolivarian.
Aku merasa kehilangan. Sangat kehilangan.
Karena dalam sosoknya aku mendapati suatu pergeseran yang dalam arti
tertentu terjadi pula pada diriku, jelata di negeri semi-jajahan di
Khatulistiwa ini. Dari seorang nasionalis radikal yang dihikmati
nasionalisme Amerika Latin Bolivarian, ia menjadi seorang sosialis yang
mendialogkan roh para caudillo Amerika Latin dengan Marx, Engels, Lenin,
dan Trotsky. Dari cita-cita tentang sebuah kapitalisme nasional
(“kapitalisme bangsa sendiri”, dalam ungkapan Bung Karno) ia bergeser
pada keyakinan bahwa kapitalisme harus ditransendensi, dilampaui.
Revolusi Permanen
“Apa masalahnya? Saya pun seorang Trotskyis!” katanya, saat mendengar
pengakuan salah seorang kandidat menterinya yang seorang Trotskyis.
“Saya sangat menghargai pemikiran-pemikiran Leon Trotsky. Kita harus
membacanya, kita harus mempelajarinya,” katanya, suatu ketika. “Saya
membaca [Program Transisional] pagi hari ini, yang berbicara mengenai
teori transisional. Buku ini kecil, tapi nilainya seberat emas. Leon
Trotsky adalah seorang penulis yang sangat inspirasional,” komentarnya
tentang karya Trotsky, Program Transisional.
Revolusi dalam Permanensi, kata Marx dan Engels. Revolusi Permanen,
kata Trotsky. Sama. Rakyat pekerja, di bawah pimpinan kelas buruh, harus
menuntaskan tugas historisnya – mentransformasi revolusi demokratik
menjadi revolusi sosialis – dari negerinya ke negeri-negeri lainnya, ke
seluruh dunia. Revolusi yang akan menghadirkan alternatif yang
sepenuh-penuhnya bagi dunia yang sedang bergerak laju menuju barbarisme!
Dalam perspektif inilah kiranya Chavez menyerukan sejak empat tahun
yang silam: Dirikanlah Internasionale Kelima!
Tapi selagi transformasi sosialis di negerinya masih berlangsung,
Chavez tiba di akhir perjuangannya. Pergulatan dua tahun dengan kanker
berakhir dengan hembusan nafas terakhir Kamerad Chavez.
Revolusi belum selesai, Kawan! Transformasi Sosialis belum usai! Kaum
komprador dan oligarki masih bercokol. Atas nama demokrasi mereka terus
mengintai, merongrong, bahkan menteror Revolusi Bolivarian.
Di sinilah tantangan bagi para Chavista sejati. Tengoklah, di antara
mereka yang mengaku diri penganut Chavismo, ada kaum birokrat
pemerintahan dan birokrat Partai Sosialis Bersatu Venezuela, ada kaum
intelektual, dan ada rakyat pekerja.
Mari simak. Kaum birokrat adalah elemen konservatif dari Chavismo.
Oportunistik dan cenderung korup, para Chavista tetiron ini berusaha
mengekang laju revolusi. Merekalah kandidat-kandidat utama pembunuh
revolusi!
Kaum intelektual adalah elemen moderat dari Chavismo. Merasa tahu apa
yang terbaik bagi rakyat pekerja, banyak di antara mereka yang
cenderung pada reformisme.
Rakyat pekerja, yang semakin “melek” politik, yang terorganisir dalam
Lingkaran-lingkaran Bolivarian, dewan-dewan komunal, dan dewan-dewan
buruh, adalah elemen radikal dari Chavismo. Tapi radikalisme mereka
perlu mendapatkan format dan arah yang jelas, agar tidak dibajak oleh
para oportunis dan/atau “dilembutkan” oleh para reformis. Format dan
arah yang jelas itu ada pada Marxisme revolusioner – ideologi “alami”
kelas buruh, proletariat. Untuk itu, proletariat Venezuela harus
bergerak, meraih kepemimpinan revolusi: mempersatukan seluruh rakyat
pekerja dan memimpin mereka menuntaskan tugas historis – Revolusi
Permanen. Itulah kiranya satu-satunya cara untuk mempertahankan dan
memenangkan Revolusi Bolivarian!
(Wahai, alangkah indahnya bila para intelektual menjadi kaum
intelektual organik, yang dengan setia mendampingi proletariat
menuntaskan tugas historis transformasi sosialis via Revolusi dalam
Permanensi!)
Epilog
Aku merasa kehilangan. Sangat kehilangan. Bagiku Chavez ibarat sanak,
ibarat kadang. Yo sanak, yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan.
Tapi aku tak mau berhenti dalam duka. Kamerad Hugo Chavez boleh mati,
tapi proletariat dan rakyat pekerja tidak boleh mati. Satu revolusioner
mati berkalang tanah, kaum revolusioner dan kelas revolusioner akan
terus bergerak menuntaskan tugas historis: demi melenyapkan barbarism,
demi masa depan sosialis umat manusia.
Kamerad Chavez telah mati. Hidup Kamerad Chavez!
Hidup Rakyat Pekerja Venezuela!
Hidup Proletariat!
Proletariat sedunia, bersatulah!
Padepokan, 6 Maret 2013
http://militanindonesia.org/internasional/amerika-latin/8396-aku-merasa-kehilangan-sebuah-obituari-untuk-hugo-chavez.html
Blogger Comment