Apakah
hubungan antara agama dan kapitalisme? Sepertinya jelas, tidak ada hubungan di
antara keduanya. Betapa tidak! Agama adalah “jalan sorgawi”, sedangkan
ka-pitalisme adalah “jalan duniawi.” Selaku “jalan sorgawi”, agama diberikan
oleh Sosok Ilahi kepada manusia. Sebagai jalan duniawi, “kapitalisme” adalah
sebuah tahapan sekaligus tatanan sosio-ekonomik bikinan manusia yang hidup
sebagai masyarakat klas. Sebagai “jalan sorgawi”, agama menuntut iman, takwa,
dan amal-kebajikan. Selaku “jalan du-niawi”, kapitalisme adalah sebuah cara produksi
yang di dalamnya segelintir orang berhak dan bisa menciptakan sorga di dunia
bagi diri mereka sendiri, sementara sebagian terbesar lainnya “berhak” atas
“neraka dunia,” yakni kemiskinan yang parah. Jelas, bukan, tidak ada hubungan
antara agama dan kapitalisme?
Benarkah
demikian? Andaikan saja demikian. Baiklah. Nah, dengan pengandaian yang
demikian, cobalah nya-lakan televisi Saudara. Simaklah suatu acara agama. Apa
yang Saudara temukan di sana? Aha! Sebuah syiar agama, entah dakwah ulama atau
khotbah pendeta. Baik, bukan? Tentu saja, kata sementara orang, syiar agama
dapat memanfaatkan media kapitalis (saluran televisi swasta). Betapa cerdiknya
para pemuka agama! Lagipula, para pemilik media kapitalis memberi ruang bagi
syiar agama. Alangkah mulia hati mere-ka! Tak lupa pada syiar agama, tidak
hanya mencari keuntungan saja! Hahaha … Saudara pun tersenyum penuh kemenangan.
Agama, dalam hal ini para pemukanya, terbukti cerdik; kapitalisme, dalam hal
ini para pemilik media kapitalis, terbukti berhati baik! Lalu Saudara
meneruskan perayaan kemenangan Saudara dengan menandaskan: pemilik media
kapitalis itu berhati baik berkat syiar agama pula!
Wahai,
kelihatannya skor 2-0 untuk Saudara. Pertama, Saudara mencetak skor (1-0)
dengan menegaskan bahwa agama dan kapitalisme tidak punya hubungan. Kedua,
Saudara mencetak skor (2-0) dengan menandaskan kecerdikan agama dan kebaikan
kapitalisme. Agama dapat menggunakan kapitalisme sebagai sarana syiar, dan
kapitalisme memberi ruang kepada agama untuk bersyiar. Tapi, yang namanya
kelihatannya, belum tentu yang sebenarnya bukan? Kenyataanya, dengan mencetak
skor yang kedua, Saudara justru menganulir atau menyatakan tidak sah skor yang
pertama! Kok bisa? Pasalnya, dengan menyatakan bahwa agama dapat menggunakan
kapitalisme dan kapitalisme memberi ruang kepada agama, berarti secara tidak
langsung Saudara menyatakan bahwa agama dan kapitalisme tidak tidak punya
hubungan, alias punya hubungan! Nah, karena pernyataan pertama keliru, dan
pernyataan kedua sama kelirunya, maka skornya bukan lagi 2-0 untuk Saudara,
tetapi 0-2 untuk Saudara. Atau, 2-0 untuk saya!
Sekarang,
coba kita telisik lagi. Andaikan Saudara benar bahwa “agama cerdik, dan
kapitalisme baik” … berarti agama diuntungkan oleh kapitalisme. Sekali lagi,
anggaplah memang begitu kebenarannya. Pertanyaannya, apakah kapitalisme
diuntungkan pula oleh agama? Mungkin Saudara menjawab: “Ya, kapitalisme
diuntungkan oleh agama: kapitalisme menjadi baik.” Menjadi baik? Berarti
sebelumnya ka-pitalisme itu tidak baik? Apanya yang tidak baik? Lalu Saudara
menjawab dengan yakin: “Sebelum dibuat baik oleh agama, kapitalisme membuat
orang menjadi serakah.” Jadi maksud Saudara agama telah membuat kapitalisme
tidak membuat orang menjadi serakah? Mari kita periksa: apakah si pemilik media
akan memberi ruang kepada agama untuk bersyiar melalui saluran televisinya bila
dalam perhitungannya tidak ada orang yang berminat pada acara keagamaan? Tidak
bukan? Persoalannya bukan hanya “percuma”, tetapi juga rugi, karena untuk
sekali tayang besar beaya yang harus dikeluarkannya. Berarti, bila menurut
perhitungannya acara keagamaan masih diminati orang, barulah ia akan memberi
ruang kepada syiar agama. Mengapa? Karena, lagi menurut perhitungan si pemilik
media, ia mempunyai konsumen yang akan menjadi target iklan, yang pada
gilirannya akan mendatangkan keuntungan baginya! Begitu, bukan? Kalau begitu,
benarkah agama membuat kapitalisme menjadi lebih baik? Benarkah syiar agama
membuat si kapitalis tidak lagi menjadikan profit sebagai motif utamanya?
Tidak, bukan? Kalau begitu, yang cerdik itu agama atau kapitalisme? Hmmm,
de-ngan berat hati saya harus mengatakan … skor 3-0 untuk saya.
Lalu
mungkin Saudara merajuk: “Ya, kapitalisme memang cerdik! Tapi agama, meski
mungkin kalah cerdik dari kapitalisme, baik!” Dengan senang hati saya menerima
rajukan Anda. Ya, kapitalisme memang cerdik. Tapi apakah benar agama itu baik?
Sebelum Saudara menyangka bahwa saya akan mengatakan “agama itu tidak baik”,
mari kita nonton televisi lagi. Mungkin Saudara tidak asing dengan tren yang
belakangan ini kerap muncul di media: sejumlah pemuka agama “ketularan” bergaya
selebritis. Mereka senang publisitas, khususnya yang pria senang dikelilingi
para wanita. Cerita selanjutnya, Saudara tahu sendirilah. “Tapi itu kan
‘oknum’, bukan agamanya!” kilah Saudara. Tentu saja, “oknum.” Tapi kok bisa ya
“oknum-oknum” itu menjadi selebritis agama di media? Karena “ganteng” (yang
pria)? Suatu faktor, tentu. Karena “nasib” atau “diridlai Tuhan”? Bisa juga.
Tapi “ganteng” dan “nasib” adalah dua sisi yang membutuhkan sisi lain yang
sangat fundamental untuk membuat seorang
pemuka agama menjadi selebritis agama.
Apakah
itu? Isi syiar, entah dakwah atau khotbah, yang disampaikannya! Coba simak isi
syiar para pemuka agama yang luar biasa itu. Isinya berkisar pada
petunjuk-petunjuk ritual dan anjuran berbuat baik. Bagus bukan? Memang. Tapi
perhatikan: isi syiar tidak pernah mengajak umat untuk tiba pada kesadaran
kritis yang mempertanyakan sebab-musabab kemiskinan dan kesenjangan sosial yang
makin melebar. Para pemuka agama menyalahkan orang miskin: orang menjadi miskin
karena malas, bodoh, dan kurang mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau, para
pemuka menenangkan dan menghibur orang miskin dengan mengajak mereka bersabar sembari menjanjikan pertolongan
Tuhan dan pahala sorgawi bagi tiap-tiap orang yang beriman sabar dan tawakal.
Sungguh, orang sabar disayang Tuhan. Tapi para pemuka yang terhormat itu tidak
pernah menudingkan jarinya kepada sistem ekonomi yang tidak adil, cara produksi
yang tidak demokratis, struktur sosio-ekonomik yang memberi ruang
seluas-luasnya bagi penghisapan manusia oleh manusia. Nama sistem ini:
kapitalisme. Alih-alih, disadari atau tidak, agama mengesahkan dan membenarkan
kapitalisme.
Izinkan
saya bertanya, Kawan, apa yang terjadi pada para pemuka agama yang mulia itu
bila mereka mendakwahkan pesan agama yang kritis terhadap kapitalisme,
menggugah kesadaran umat, dan mengajak mereka bersatu dan bangkit melawan
kapitalisme? Sebaik-baiknya, para pemuka agama tidak akan menjadi selebritis
keagamaan. Seburuk-buruknya, sebagaimana dialami oleh Romo Rutilo Grande dan
Uskup Agung Oscar Romero di El Salvador, Romo Jon Bosco di Brazil, Romo
Ellacuria dari Kolombia … tertimbus peluru dari para anjing penjaga
kapitalisme.
Kalau
begitu, apakah yang dapat kita katakan tentang hubungan antara agama dan
kapitalisme? Sebuah “simbiosis” (hidup bersama) yang aneh. Kapitalisme
menjadikan agama sebagai barang dagangan, dan agama mengesahkan kapitalisme.
Para pemuka agama beroleh keuntungan dari kapitalisme: keuntungan finansial dan
popularitas yang mendorong mereka ke depan kamera menjadi selebritis agama.
Pada saat yang sama kapitalisme nampak baik secara moral keagamaan di hadapan
massa-rakyat yang sehari-hari dieksploitasi jerih-payahnya di tempat-tempat
kerja dan dimanipulasi kesadarannya dalam acara-acara keagamaan. Mereka diminumi
“opium”, “candu”, untuk melarikan diri ke alam sorgawi khayalan sambil terus
meregang nyawa dalam kemiskinan, kelaparan, dan kesakitan sementara kesenjangan
sosial semakin melebar.
Ah,
begitu burukkah agama? Syukurlah tidak demikian. Antonio Gramsci mengingatkan:
ada beda antara agama klas penguasa dan agama kaum yang tertindas. Di tangan
klas penguasa, agama-agama itu menjadi kekuatan besar untuk memanipulasi
kesadaran massa-rakyat, menjinakkan mereka, dan mengungkung mereka di bawah
penindasan dan penghisapan. Di tangan kaum tertindas, bersama dengan kaum
revolusioner, yakni orang-orang yang telah mengkomitmenkan hidup-mati mereka
demi pembebasan kaum tertindas dan terhisap, agama-agama itu dapat menjadi
kekuatan yang membebaskan. Sesungguhnya, kaum yang disebutkan belakangan
inilah, yakni mereka yang menjadikan agama sebagai kekuatan pembebasan,
merekalah yang meneruskan jiwa-semangat yang pernah berkobar di dadanya para
nabi yang sejati. [ ]
Blogger Comment