Pernahkah
Anda mendengar guyonan bahwa orang Indonesia bisa mendarat di bulan hanya
mengandalkan tumpukan kertas saja? Guyonan bernada sindirian itu dilontarkan
karena begitu banyaknya konsep tertulis atau kertas kerja yang dihasilkan,
namun tidak ada tindaklanjut atau implementasinya. Entahlah, siapa yang
pertama kali melontarkan guyonan itu, dan kita pun tidak tahu persis seberapa
banyak tulisan-tulisan yang telah dihasilkan oleh orang Indonesia sehingga
muncul sindiran tersebut.
Menyoal
tulis-menulis ini jadi teringat dengan budaya menulis di kalangan akademisi.
Rasanya kampus bisa menjadi gudang tulisan, baik itu tugas-tugas mahasiswa,
laporan penelitian, makalah, dan produk tulisan lainnya. Pertanyaannya,
seberapa banyak produk-produk ilmiah tersebut terbaca oleh publik. Tingkat
keterbacaan karya ilmiah pun rendah jika semuanya tersimpan di atas meja atau
di dalam lemari. Kebermanfaatannya pun kecil karena khalayak tidak bisa membaca
dan mengambil manfaat dari tulisan tersebut.
Di
era informasi, keterbacaan karya ilmiah bisa meningkat jika diunggah ke
internet. Medianya bisa berupa situs kampus, jurnal online, paper repository,
bahkan situs atau blog pribadi. Memang tidak semuanya mempunyai infrastruktur
yang mendukung implementasi kebijakan tersebut. Namun, selalu ada kebijakan
yang bersifat otoriter atau paksaan karena ada maksud lain dari kebijakan
tersebut.
Keterbukaan
karya ilmiah Indonesia menjadi salah satu isu yang diangkat dalam Surat Edaran
Dikti. Kini, semua produk ilmiah dosen dan mahasiswa wajib online, seperti
disebutkan dalam Surat Edaraan Dirjen DIKTI nomor 2050/E/T/2011 tanggal 30
Desember 2011 perihal kebijakan unggah karya ilmiah dan jurnal. Naskah lengkap
surat edaran tersebut bisa dilihat di sini.
Surat Edaran Tentang Kebijakan
Unggah Karya Ilmiah (sumber: http://dikti.go.id)
Jadi,
kebijakan tersebut justru dimaksudkan untuk mencegah plagiat, terutama untuk
kalangan dosen dan mahasiswa. Karya ilimah yang online bisa dibaca oleh publik,
dan bisa diniliai atau ditelusuri di dunia internet. Keterbukaan untuk dinilai
dan ditelusuri inilah yang menjadi sasaran dari Surat edaran tersebut.
Namun
jika tidak hati-hati, keterbukaan karya ilmiah di internet bisa berdampak
buruk, yaitu dengan terjadinya praktek-praktek plagiarism, atau generasi muda
menyebutnya “copas”. Bisa saja budaya copas makin marak dengan kebijakan ini.
Namun dengan adanya peraturan dan kebijakan lain, kebijakan unggah karya ilmiah
seharusnya bisa mencegah plagiarisme.
Ya,
sebuah karya ilmiah yang sudah online retatif mudah ditelusuri kemiripannya
satu sama lain. Tingkat kemiripan tersebut memang belum tentu plagiat karena
harus dicermati lebih mendalam. Menurut Kepmendiknas No. 17 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, “Plagiat
adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau
mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip
sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui
sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyebutkan sumber secara tepat dan memadai”.
0 komentar:
Posting Komentar