Kebijakan Unggah Karya Ilmiah, Efektifkah Mencegah Plagiat?


April 30th, 2012 | by Rumah Pena | in Edukasi, Headline | 22 Comments
Pernahkah Anda mendengar guyonan bahwa orang Indonesia bisa mendarat di bulan hanya mengandalkan tumpukan kertas saja? Guyonan bernada sindirian itu dilontarkan karena begitu banyaknya konsep tertulis atau kertas kerja yang dihasilkan, namun tidak ada tindaklanjut atau implementasinya.  Entahlah, siapa yang pertama kali melontarkan guyonan itu, dan kita pun tidak tahu persis seberapa banyak tulisan-tulisan yang telah dihasilkan oleh orang Indonesia sehingga muncul sindiran tersebut.
Menyoal tulis-menulis ini jadi teringat dengan budaya menulis di kalangan akademisi. Rasanya kampus bisa menjadi gudang tulisan, baik itu tugas-tugas mahasiswa, laporan penelitian, makalah, dan produk tulisan lainnya. Pertanyaannya, seberapa banyak produk-produk ilmiah tersebut terbaca oleh publik. Tingkat keterbacaan karya ilmiah pun rendah jika semuanya tersimpan di atas meja atau di dalam lemari. Kebermanfaatannya pun kecil karena khalayak tidak bisa membaca dan mengambil manfaat dari tulisan tersebut.

Di era informasi, keterbacaan karya ilmiah bisa meningkat jika diunggah ke internet. Medianya bisa berupa situs kampus, jurnal online, paper repository, bahkan situs atau blog pribadi. Memang tidak semuanya mempunyai infrastruktur yang mendukung implementasi kebijakan tersebut. Namun, selalu ada kebijakan yang bersifat otoriter atau paksaan karena ada maksud lain dari kebijakan tersebut.
Keterbukaan karya ilmiah Indonesia menjadi salah satu isu yang diangkat dalam Surat Edaran Dikti. Kini, semua produk ilmiah dosen dan mahasiswa wajib online, seperti disebutkan dalam Surat Edaraan Dirjen DIKTI nomor 2050/E/T/2011 tanggal 30 Desember 2011 perihal kebijakan unggah karya ilmiah dan jurnal. Naskah lengkap surat edaran tersebut bisa dilihat di sini.
Surat Edaran Tentang Kebijakan Unggah Karya Ilmiah (sumber: http://dikti.go.id)
Jadi, kebijakan tersebut justru dimaksudkan untuk mencegah plagiat, terutama untuk kalangan dosen dan mahasiswa. Karya ilimah yang online bisa dibaca oleh publik, dan bisa diniliai atau ditelusuri di dunia internet. Keterbukaan untuk dinilai dan ditelusuri inilah yang menjadi sasaran dari Surat edaran tersebut.
Namun jika tidak hati-hati, keterbukaan karya ilmiah di internet bisa berdampak buruk, yaitu dengan terjadinya praktek-praktek plagiarism, atau generasi muda menyebutnya “copas”. Bisa saja budaya copas makin marak dengan kebijakan ini. Namun dengan adanya peraturan dan kebijakan lain, kebijakan unggah karya ilmiah seharusnya bisa mencegah plagiarisme.
Ya, sebuah karya ilmiah yang sudah online retatif mudah ditelusuri kemiripannya satu sama lain. Tingkat kemiripan tersebut memang belum tentu plagiat karena harus dicermati lebih mendalam. Menurut Kepmendiknas No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan  Tinggi, “Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyebutkan sumber secara tepat dan memadai”.

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment

0 komentar: