Logika Pasar Dunia Pendidikan


Ide Kapitalisme Neo-liberal didirikan atas semangat penundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Segala bentuk campur tangan negara dalam pelayanan publik, seberapapun vitalnya bagi masyarakat luas, dipandang hanya menciptakan 'inefisiensi yang menghambat laju industri nasional.'

Konsep ruang publik-sebuah pandangan tentang adanya suatu wilayah kehidupan yang tidak dapat diperjual-belikan haruslah ditinggalkan sambil menyerahkannya pada perhitungan untung-rugi, manajemen korporasi, dan mekanisme pasar

Celakanya, sisi menakutkan Kapitalisme Neo-liberal berwujud semangat untuk memandang seluruh sisi kehidupan sebagai komoditas, sumber laba korporasi. "Rumah sakit - rumah sakit harus berkompetisi melayani pasien, pelayanan publik dan hiburan harus berkompetisi mencari pelanggan, sekolah - sekolah harus berkompetisi mendapatkan siswa" (Tormey, 2004).

Jaminan kehidupan publik lewat pendidikan menyeluruh tak henti-henti diteriakkan Soekarno dalam banyak pidato besarnya. "Suatu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas", "meninggalkan sama sekali alam Liberalisme serta konstruksi-konstruksinya', dan "Revolusi Indonesia menuju Sosialisme" adalah pekik yang tak luput digeledekkannya dalam sambutan sidang pengurus besar Front Nasional serta HUT RI ke-14. Sebuah cita-cita yang menjiwa dalam Pasal 31 UUD 1945 (tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan) dan UU Sisdiknas (penyelenggaraan pendidikan yang murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi) {Pasal 4 (1) UU No 20/2003}.

Logika pasar tak menemukan rasionalitasnya. Konsep pendidikan murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi merupakan ketakmasuk-akalan yang mubazir karena mematikan iklim persaingan 'bisnis pendidikan.' Ketika biaya produksi dan operasional tinggi, sangat irasional memberikan sebuah komoditas dengan murah dan mudah, apalagi cuma-cuma. Saat sebagian besar ranah pendidikan di bawah kontrol negara, penanam modal jadi tak leluasa menjalankan insting bisnis akibat penyesuaian-penyesuaian dengan orientasi negara. Lalu, munculah ketakutan terbesar: logika pasar buntu, iklim persaingan mati, penanam modal kabur.

Bukan khayal, ke arah logika pasar inilah pendidikan kita tengah melangkah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan upaya mem-BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, minimal 50 persen hingga tahun 2009. Atas nama 'otonomi dan memandirikan pengelolaan kampus', upaya lepas tangan negara terhadap tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan, seraya memberi keleluasaan BHP (Badan Hukum Pendidikan) mencari jejaring modal lain yang bersedia membiayai, baik dalam maupun luar negeri.
Soekarno dilupakan, konstitusi dikebiri, logika pasar dijalankan.

Bak gayung bersambut, institusi-institusi pendidikan pun meniscayakan arena kompetisi dingin dengan banyak pemenang dan banyak yang kalah ini. Tengoklah biaya masuk PTN jalur reguler yang bisa mencapai Rp 10 - 15 juta, dan setiap semester rata-rata Rp 500 ribu - 1 juta. Biaya masuk PTS berkisar antara Rp 15-20 juta, sementara setiap semester rata-rata Rp 2 juta. Bahkan jaminan mendapatkan kursi siap diberikan bagi mereka yang mampu membayar biaya masuk mencapai Rp 100 juta, dan Rp 70 juta per semester lewat jalur-jalur khusus (Kompas, 2 Mei 2008). Semakin ternama sebuah institusi pendidikan, semakin mahal biaya pendidikannya. Semakin bagus kualitas sebuah komoditas, semakin tinggi harga jualnya.

Lebih spesifik, perguruan-perguruan tinggi memasang tarif tinggi pada program studi dengan jumlah peminat tinggi, prodi-prodi favorit-unggulan-favorit dan unggulan untuk berkompetisi dalam pasar kerja. Program-program seperti kedokteran, psikologi, komunikasi, farmasi, ekonomi, bisnis internasional menempati urutan teratas kategori jurusan berbiaya tinggi. Semakin tinggi jumlah permintaan, semakin tinggi harga komoditas.
Di sini, logika pasar menemukan rasionalitasnya.

Pendidikan nasional banting setir. Konsep murah, mudah, dan mungkin diakses oleh masyarakat luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi makin tertutup. Pengertian kata 'mahal' jadi tak relatif lagi bila dihadapkan dengan penduduk miskin Indonesia pada tahun 2007 yang mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58 persen, dengan garis kemiskinan Rp 166.697 per orang per bulan (Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan diperkirakan akan meningkat lagi tahun 2008 hingga 40 juta orang atau mencapai sekitar 25 persen dari total populasi (Bappenas). Wajar saja, pendidikan masih merupakan hal mewah bagi yang miskin.

Logika pasar tak pelak mengarah pada upaya komodifikasi dunia pendidikan-komoditas yang diberikan hanya kepada yang mampu membayar dengan harga pantas. Yang miskin harus tersingkir dari arena kompetisi. Betapapun pahitnya, itulah harga sebuah mekanisme pasar. Logika pasar menggambarkan dunia pendidikan yang mirip kompetisi ala Darwinian dengan hanya penyeleksi tunggal: kemampuan ekonomi.
Dari sini kita tahu, pendidikan kita salah langka, atau mengamini kesalahan langkah.

SHARE ON:

Hello guys, I'm Badrun nur, a new blogger from Polman West Sulawesi but stay in Makassar South Sulawesi.

    Blogger Comment

0 komentar: