Resensi Buku : Republik yang Sedang Oleng
Identitas Buku
Judul Buku : Republik yang Sedang
Oleng
Penulis : Arman Syarif
Penerbit : Liblitera Institute
Cetakan Pertama : Desember 2018
Jumlah hlm/tebal buku : 356 halaman
Ukuran buku : 14×21 cm
[ Oleh Bahrul Amsal – Pegiat Literasi Sul Sel ]
INI subjektif belaka. Terkait perkenalan saya dengan penulis
buku ini. Kak Arman, begitu sering ia disapa, pertama saya tahu adalah seorang
aktivis kampus. Ia sering mondar-mandir di depan ruang kuliah saya. Kala itu,
rambutnya yang dibiarkan tergerai panjang menjadi ciri khasnya. Saya masih ingat, menggunakan sepatu gunung dan kemeja
terbuka yang melapisi kaos oblong di dalamnya, ia sering nongkrong di lapakan
penjual buku yang berada tepat di sudut gedung perkuliahan saya. Belakangan
saya baru menyadari, si penjual buku ini ternyata menjadi magnet tersendiri
bagi aktivis kampus masa itu. Bukan saja sekadar menjual buku, si penjual buku
ini malah menjadi “guru” bagi orang yang sering menghabiskan waktu berdiskusi
dengannya.
Nanti, ketika saya menjelang semester akhir, saya semakin
dekat dengan penulis. Di situ pula saya baru mengetahui ia ahli bermain gitar.
Sering kali kedekatan kami dihabiskan menyakikan lagu-lagu yang sering
dinyanyikan ketika demonstrasi. Dari situ saya banyak bertukar pikiran, ngopi
bareng, dan main gitar sama-sama di sebuah kamar kos yang disewa secara
patungan. Di situ pula, saya semakin tahu, sejak ia lulus mahasiswa,
ada satu hal yang tidak berubah dari beliau: kebiasaannya menulis. Ya, beliau
adalah salah satu figur di kampus yang dikenal memiliki skil menulis. Sudah
sejak dari mahasiswa tulisan-tulisannya banyak nangkring di koran-koran.
Itulah sebabnya, dari sepak terjangnya, dia sedikit banyak
menginspirasi saya–juniornya yang waktu itu pelan-pelan mulai menyukai dunia
tulis menulis. Nah, di buku ini merupakan jejak pikirannya yang sudah ia mulai
sejak mahasiswa lalu. Sebagian tulisan dalam buku ini adalah refleksinya ketika
masih menjadi mahasiswa. Makanya, jika melihat tanggal penulisannya, banyak
ditemukan tulisan-tulisan yang ia buat saat masih mengenyam bangku perkuliahan. Walaupun kini ia sudah berprofesi sebagai seorang guru, tulisan-tulisan
yang ditulis belakangan masih kental dengan idealisme saat ia masih sering
bersentuhan dengan wacana kampus —sesuatu yang saya duga banyak berubah ketika
ia menjadi guru. Yang paling mencolok dari semua itu adalah konsistensinya
menggarap tema yang menjadi kekuatan negara-negara berkembang belakangan ini:
Demokrasi.
Patut diduga, tema demokrasi yang menjadi ciri khas buku ini
adalah habituasi penulis yang telah berproses panjang sudah semenjak mahasiswa.
Ia —yang semasa mahasiswa menempuh disiplin kewarganegaraan—dengan kata lain,
dalam buku ini sulit melepaskan kecenderungannya lantaran boleh dikata sudah
dari sananya tema ini mendarah daging. Suatu hal yang wajar sebenarnya,
mengingat disiplin ilmunya ini-lah juga yang sehari-harinya ia bicarakan saat
menjadi seorang guru kewarganegaraan kelak.
DALAM Kampus yang Minus Demokrasi, penulis
gamblang mengkritik penerapaan demokrasi sebagai representasi intitusi
pendidikan. Tulisan ini dengan jeli memperlihatkan kontradiksi yang sering
terjadi ketika keterbukaan dan kesetaraan di hadapan ilmu pengetahuan menjadi
terhambat akibat kepempimpinan birokrasi kampus yang otoriter.
Melalui UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
pasal 3: “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”, penulis bersuara keras melalui tulisan ini dengan
memberikan dasar argumentasi bahwa kampus seharusnya menjadi ruang paling
terbuka ketika mempraktikan gagasan demokrasi. Mengingat kampus adalah tempat
mengeramnya cikal bakal ide-ide demokrasi sebelum merekah di ruang publik.
Sebagai seorang mantan mahasiswa, tulisan ini bukan sekadar
wacana yang datang dari pengamatan jauh sang penulis, melainkan merupakan
bagian pengalaman yang sampai sekarang ikut membentuk pemahamannya mengenai
kampus yang ideal. Di tulisan ini, kampus yang ideal itu dinyatakannya sebagai
ruang yang mesti menjamin kebebasan berpendapat, menjadi ruang pendidikan
politik, dan sekaligus ajang bertukar gagasan. Sayangnya, dari tulisan yang
disuguhkanya, banyak fakta-fakta sebaliknya yang kerap menjadi isu negatif di
dalam kampus, yang sering kali bertindak otoriter dan non-demokratis.
Dari beberapa fakta di mana banyak kampus melakukan
tindakan di luar dari prinsip-prinsip demokrasi, penulis tanpa ragu menyebut
peristiwa itu sebagai penerapan “demokrasi
yang setengah hati”. Dari sisi ini, mengingat perhatian yang besar terhadap
dunia kampus, menarik melihat respon penulis kepada kasus pelecehan seksual
yang dialami seorang mahasiswa perempuan di kampus ternama di negeri ini.
Mirisnya, dalam menyelesaikan persoalan yang melibatkan mahasiswanya
sebagai pelaku dan korban, pihak kampus tersebut berusaha menghambat
penyelesaian kasus ini.
Kasus ini bisa terungkap karena keterlibatan pers kampus yang berani mengungkap peristiwa yang terjadi di lokasi KKN itu. Sulit membayangkan betapa pihak kampus tersebut –seperti yang diistilahkan penulis—justru nampak setengah hati berbicara terbuka dan legowo untuk mengusut tuntas kasus yang malah tidak berpihak kepada korban pelecehan. Seperti kampus-kampus yang direflesikan penulis dari pengamatannya selama ini, tidak sama sekali mencerminkan intitusi yang terdepan berbicara mengenai keterbukaan informasi, sesuatu yang menjadi semangat demokrasi itu sendiri.
“(Belakangan banyak
kampus mengkriminalisasi mahasiswanya yang kritis dari sisi akademik dan
moral, karena dinilai tidak mewakili asas kepatutan sebagai mahasiswa)”
Berbicara keterbukaan informasi, Tulisan yang berjudul Pemblokiran
Situs di Negara Demokrasi cukup mewakili perasaan umum warga Indonesia
yang sampai sekarang masih resah mengenai fake news yang tidak
ada habis-habisnya. Dalam tulisan ini penulis menangkap fenomena khas dari
negara demokrasi terkait dengan merebaknya media sosial sebagai kekuatan baru
demokrasi. Walaupun sifatnya problematis, di tulisan ini memberikan semacam
jalan keluar ketika ada warga yang masih bingung mengartikan kebebasan di alam
demokrasi.
Disebutkan kebebasan adalah gen bawaan demokrasi. Tapi
ketika itu tidak disertai dengan logos –mengikuti pandangan
Aritoteles—risikonya adalah saling silang pendapat yang sulit terbendung.
Masing-masing atas nama kebebasan berpendapat akan dengan leluasa
menyatakan opininya di ruang publik tanpa mengindahkan batas-batas yang sudah
ditetapkan. Fenomena seperti ini jamak ditemui sekarang. bahkan, ada satu dua
tokoh yang dijerat hukum karena dipandang salah menggunakan kebebasan
berpendapatnya.
Nah, di tulisan yang terbit di salah satu harian cetak ini
penulis menyertakan aturan main agar tidak kebablasan mengartikan kebebasan
berpendapat. Menurutnya, selain negera ini adalah negara demokratis, negara ini
juga negara hukum. Negara demokrasi mengandaikan kebebasan berpendapat,
sementara negara hukum mengandaikan perlunya aturan yang mengatur kebebasan
berpendapat agar berjalan tertib.
Dari kacamata ini penulis menyebut cara di atas sebagai
pandangan konstitusional, yang mengaitkannya dengan dua pasal. Pertama pasal 28
E ayat (3) ditegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sementara pada pasal 28 F berbunyi: “Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”.
Sekilas dari pasal ini kebebasan berpendapat dilegitimasi
secara gamblang tanpa harus mewaspadai hambatan yang muncul atasnya. Dengan
kata lain, pasal ini bakal menjamin siapa pun untuk berkata apa pun dalam
keadaaan apa pun dan dengan tujuan apa pun.
Namun pemahaman kita akan terbelah jika tidak mengikutkan
satu pasal yang dapat dipakai untuk memberikan dasar pengertian berkaitan
dengan kebebasan. Dalam pasal 28 J ayat (2) berbunyi: “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Jelas sekali di atas bagaiaman undang-undang ikut mengatur
kecenderungan kebebasan dalam ranah publik. Disebutkan di situ kebebasan mesti
berjalan sesuai dengan tuntunan keadilan dengan pertimbangan moral, nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum. Di akhir pasal itu disebutkan semua ini
diupayakan di dalam masyarakat demokratis, dengan arti seluruh prasyarat
demokrasi mesti menjadikan prinsip di atas sebagai syarat mutlaknya.
“Apakah Pancasila kini
masih menjadi sebuah dasar, cara pandang, atau ideologi hidup bernegara baik
bagi rakyat maupun pejabatpejabat negara, ataukah dia telah lama ditinggalkan?
Apakah Pancasila mampu bertahan di tengah arus perkembangan zaman
(globalisasi)? Apakah Pancasila yang sering dipersepsikan sebagai ideologi
terbuka justru semakin kabur dan tenggelam di tengah pergaulan negaranegara
asing yang berbeda ideologi? (hal.151)”
ADA BANYAK kata demokrasi menjadi terma pilihan judul: 12
kata demokrasi, 5 berkaitan dengan negara dan ideologinya, dan sebagian besar
menggunakatan kata politik dan hukum. Tapi, hanya ada lima nama orang yang
dipakai sebagai judul tulisan; tiga di antaranya tokoh sejarah, satu di antara
Gayus Tambunan, dan yang terakhir adalah Daeng Nape; sahabat sekaligus kawan
diskusi penulis hingga sekarang.
Lebih banyaknya kata demokrasi dan politik dapat dipahami
karena betapa besarnya perhatian penulis kepada sistem. Dengan kata lain,
perhatian penulis lebih banyak mengarahkan penanya kepada masalah-masalah makro
tinimbang soal-soal yang lebih merakyat. Memang ada beberapa tulisan yang
sedikit banyak menyoroti kasus-kasus kerakyatan, semisal dalam tulisan yang
dijadikan judul buku ini. Tapi tetap saja, perhatian yang besar terhadap
masalah makro ini mengisyaratkan betapa penulis belum menukik ke dalam tema
demokrasi orang-orang kecil.
Uniknya, dalam suatu tulisan yang berjudul Daeng Nape:
Karakter dan Idelogi Gerakan, sosok merakyat itu direflesikannya kepada orang
terdekatnya. Ini menandai bahwa ada minat kepada orang-orang dekat sebagai
bagian kritis yang direflesikan penulis dalam tulisan-tulisannya. Walaupun
tidak banyak, refleksi dalam tulisan ini mengangkat lokalitas sebagai bahan
yang kadang terlupakan dalam membicarakan demokrasi.
Tiga tokoh lainnya adalah Soekarno, Bung Hatta dan Tan
Malaka. Akan aneh memang ketika berbicara konsep kebangsaan tanpa menyebut
ketiga nama ini. Kenapa demikian? gampang ditebak, tiga nama ini adalah puncak
gunung es yang mendasari paham kebangsaan yang kerap ditemui dari aktivis
kampus. Jadi jika ingin melacak bagaimana paham kebangsaan penulis yang
terpantul di sana sini dari setiap tulisannya, maka akan keluar tiga nama ini.
Sesuatu yang mesti bahkan.
Terakhir, buku ini layak dimiliki mahasiswa. Hampir semua
isinya adalah wacana yang masih relevan dibicarakan di dalam kampus. Bahkan,
tidak berlebihan jika mengatakan buku ini menyerupai ensiklopedi tentang
demokrasi dan kewargaan, sehingga cukup mewakili kegandrungan obrolan mahasiswa
yang masih memiliki perhatian kepada negara ini.
Bukankah negeri ini sedang oleng? Tidak selamanya bermakna
buruk. Negeri yang oleng menandai ia masih bergerak. Masih memiliki harapan
menemukan secercah cahaya mentari di tengah langit yang sedang mendung.[]